
Beberapa pengunjung ber-selfie di ruang utama Museum Konferensi Asia Afrika (KAA), Jalan Asia Afrika, Kota Bandung pada Minggu (6/3/2016). (Vigor M. Loematta/SM)
“Real museums are places where time is transformed into space.” Orhan Pamuk
Bandung, kota yang terletak di jantung Jawa Barat ini memang memiliki sejuta pesona untuk dijelajahi. Selain wisata belanja dan kuliner yang menjadi primadona, Kota Kembang juga memiliki wisata edukasi, yakni museum yang bisa menjadi alternatif destinasi.
Hal ini menarik perhatian saya untuk menyusuri tempat-tempat yang menyajikan cerita dan sejarah beserta bukti otentik di dalamnya. Beberapa museum yang berada di kota dengan julukan Paris Van Java, akan saya sambangi dengan suguhan keunikan masing-masing tempatnya.
- Museum Mandala Wangsit Siliwangi
Bergerak ke museum pertama yang kami kunjungi, yaitu museum Mandala Wangsit Siliwangi. Museum ini mengisahkan tentang perjuangan rakyat Jawa Barat dan Divisi III Siliwangi semasa penjajahan hingga setelah kemerdekaan. Terletak di Jalan Lembong No. 38, Kota Bandung tentu dapat dijangkau dengan mudah karena terletak di tengah kota. Namun sayang, museum ini nampak sepi saat saya datangi, padahal pengunjung tidak dipungut biaya. Cukup dengan mengisi buku tamu, bisa menikmati Museum Mandala Wangsit Siliwangi sepenuhnya.
Nama museum tersebut diambil dari Bahasa Sanskerta yang memiliki arti “untuk menyampaikan pesan Siliwangi”. Bangunan penuh sejarah ini memiliki dua lantai yang siap untuk disantap bagi penikmat sejarah. Saat masuk ke tingkat pertama, saya disuguhi oleh Bedug Simareme yang pernah digunakan Kiai Ahmad Dahlan dari Singaparna. Berjalan lebih dalam, terdapat satu set meja dan kursi yang pernah dipakai untuk merundingkan kemerdekaan Indonesia, oleh para bapak bangsa di Rengasdengklok.
Langkah kaki membawa saya ke lantai dua museum yang dibangun pada tahun 1926 ini, terdapat jajaran panji dari kodim yang berada di wilayah Kodam III Siliwangi. Lalu, terpampang foto para panglima yang pernah mengkomandoi Kodam III Siliwangi, seperti Kolonel A. H. Nasution yang menjadi komandan pertama, sampai Mayjen Tri Soewandono yang memimpin sampai hari ini. Di ujung lantai dua, terdapat sebuah ruangan khusus yang digunakan untuk menyimpan benda pusaka dari kerajaan Pajajaran, juga bersemayam keris serta tiga ekor patung macan yang garang.
Ucu Prihadi, sang pemandu wisata di museum tersebut menjelaskan keunikan yang ada di sana. Menurutnya, sejarah bangunan yang merupakan peninggalan kolonial Belanda membawa keunikan tersendiri. “Bangunan asli sekarang digunakan untuk aula. Dulu museum berada di bangunan utama yang peninggalan Belanda,” jelas pria berambut cepak itu.
2. Museum Sri Baduga
Setelah menyambangi Mandala Wangsit Siliwangi, saya bergerak ke arah Tegal Lega. Menuju Museum Sri Baduga. Perkembangan wilayah Jawa Barat dari zaman prasejarah sampai hari ini, yang di dalamnya mengandung aspek sosial, budaya hingga geografisnya, terceritakan di museum yang bersebrangan dengan Taman Bandung Lautan Api. Tempat ini nampak lebih ramai dari museum sebelumnya. Tiket seharga Rp 3.000 sudah bisa menjelajahi masa lalu Jawa Barat di museum ini.
Saat pertama kali masuk, di samping meja resepsionis saya langsung disuguhi lukisan Sri Baduga Maharaja serta replika prasasti batu tulis. Tatkala memasuki bangunan, saya menemui sebuah maket danau Bandung Purba. Yang membuktikan, bahwa Bandung dulunya adalah danau. Selain itu, masih di tempat yang sama terdapat beberapa fosil seperti stegodon (gajah purba) dan kepala kerbau purba.
Keluar menuju sebuah tempat terbuka di tengah, terdapat miniatur goa yang di dalamnya berada sebuah fosil manusia purba. Di sebelah goa terdapat infografik tentang perkembangan evolusi manusia dari zaman purba sampai homo sapiens, serta dilengkapi dengan fosil tengkorak masing–masing generasi manusia. Berjalan ke arah tangga museum, terlihat arca dewa-dewa agama Buddha. Ditambah benda–benda dari kepercayaan animisme dan dinamisme.
Pergi ke atas menaiki tangga, kami diarahkan ke lantai dua museum. Suasana halaman depan museum Sri Baduga terlihat sepi pada Kamis (7/4). Sebuah bale dengan manikin seorang wanita yang sedang membaca kitab suci Al-Quran menjadi pemandangan pertama saat memasuki lantai dua museum. Di area tersebut dijelaskan masuknya Islam ke Jawa Barat. Juga ada bentuk macam-macam atap rumah Sunda, seperti suhunan julang ngapak, badak heuay, dan jubug nangkep. Masuk lebih dalam, sebuah diorama ruang kelas pada masa pemerintahan Kolonial Belanda tersuguhkan di sana. Tak hanya itu, ada juga sebuah contoh dapur tradisional lengkap dengan instrumen memasak dari jaman pra-sejarah, dengan Pak Flintstone yang sedang menggunakannya.
Naik tangga sedikit sudah sampai di lantai terakhir museum. Di area ini terdapat mata uang yang pernah berlaku di Indonesia seperti gulden, orida, dan uang yang dikeluarkan Kekaisaran Jepang saat menduduki nusantara. Ada juga unsur kesenian dari Jawa Barat, seperti satu set lengkap wayang golek serta angklung dan dua set gamelan. Sebuah etalase yang berisi mainan tradisional Jawa Barat seperti congklak, beklen, dan layang-layang juga menghiasi lantai tiga pada bangunan ini.
Di sini juga terdapat sebuah ruangan khusus yang menyimpan koleksi berharga, yang disebut ruang masterpiece. Iip Syarif Hidayat seorang pemandu wisata di Museum Sri Baduga menjelaskan, salah satu koleksi di ruang masterpiece adalah mata uang Gunting Syarifudin. “Ada juga koleksi masterpiece yang bisa dilihat adalah kereta kencana yang ada di depan museum,” ucapnya.
3. Museum Pos Indonesia
Setelah mata dimanjakan oleh sejarah penuh tataran Sunda di Museum Sri Baduga, saya bergerak ke utara Bandung menuju Jalan Cilaki No.73 untuk melihat bus surat di Museum Pos Indonesia. Sama seperti Museum Mandala Wangsit Siliwangi, tempat ini tampak sepi saat disambangi. Museum ini ternyata satu komplek dengan Gedung Sate di jantung Kota Bandung. Sebelum diresmikan kembali pada 27 September 1983, tempat yang sudah ada sejak tehun 1931, awalnya hanya untuk kalangan internal Pos dan tidak terawat.
Tak perlu membayar tiket, kami cukup mengisi buku tamu lalu masuk ke ruang pameran. Terletak di gedung tua dan di bawah tanah, tak menyurutkan nyali untuk turun ke ruang pameran. Memasuki pintu, mata langsung disajikan jejeran bus surat dari zaman penjajahan Belanda. Berbelok ke kiri terdapat prangko emas peringatan satu tahun meninggalnya Tien Soeharto dan haul 30 tahun sang proklamator, Soekarno. Prangko pertama di dunia yang disebut Penny Black terbitan Inggris pada tahun 1800-an juga ada di sana.
Di tempat yang dahulu bernama Museum Pos, Telepon, dan Telegram (PTT) ini, ada juga beberapa alat yang dahulu digunakan untuk melayani jasa pos dan giro seperti timbangan dan alat hitung yang berbentuk seperti mesin tik. Kemudian, ada vending machine benda pos seperti prangko dan kartu pos. Beberapa foto pembuatan prangko dari proses desain hingga pencetakan juga nampak menghiasi museum ini.
Dwi Sri Prihatini selaku pelaksana tugas museum dan perpustakaan pos menjelaskan, selain prangko emas terdapat juga replika surat dengan tinta emas dari kerajaan-kerajaan di Nusantara. “Mengapa replika? Karena pada zaman penjajahan surat-surat itu tidak diperhatikan pada saat itu, maka dikumpulkan oleh Sir Stamford Raffles dan dibawa ke Inggris, kita hanya diberikan replikanya saja,” kisahnya.
4. Museum Konferensi Asia Afrika (KAA)
Sejarah Pos di Indonesia sudah dipelajari, kami bergerak menuju salah satu tempat bersejarah di Bandung, yaitu Jalan Asia Afrika. Guna melihat sejarah tentang bersatunya negara di dua benua; Asia dan Afrika. Museum KAA ini, mengambil tempat di Gedung Merdeka.
Pada saat memasuki gedung yang dibangun pertama kali pada tahun 1895, kami diarahkan menuju meja resepsionis untuk mengisi buku tamu seperti di Museum Pos. Ternyata turis yang datang cukup banyak, bahkan ada yang berasal dari mancanegara. Para turis terlihat mengamati diorama Bung Karno saat memberikan pidatonya di tahun 1955. Selain itu, tersimpan kamera yang digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan, serta alat pencetak foto. Ada juga naskah dasasila Bandung yang merupakan hasil dari KAA dalam berbagai bahasa. Ditambah foto-foto saat konferensi tingkat tinggi ini diadakan.
Museum yang buka setiap hari dari pukul 08.00-16.00 WIB kecuali di hari Senin ini, memiliki ruang utama bergaya art deco yang menjadi tempat dilaksanakannya KAA pertama kali. Ruang ini dibiarkan tetap sama sejak pelaksanaan KAA pertama pada tahun 1955. Semua furnitur dibiarkan asli seperti meja dan kursi, masih kokoh digunakan hingga sekarang. Pengunjung pun bisa menyaksikan pemutaran film dokumenter KAA.
Karena hanya dibiarkan menjadi gedung tua, Mochtar Kusumaatmadja sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet Pembangunan IV mencetuskan pembentukan museum ini, tutur Elda Tartila, selaku pemandu di sana. Ia bercerita museum ini merupakan satu–satunya museum yang membahas konperensi pertama di dunia yang mencakup semua kulit berwarna.
5. Museum Pendidikan Nasional (Mupenas)
Setelah dari Museum KAA, Suara Mahasiswa mengunjungi Mupenas Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), sebuah museum yang bertemakan pendidikan, menjadi akhir perjalanan ‘sejarah’ kami. Buka setiap hari kecuali Senin dan hari libur nasional, museum ini beroperasi dari pukul 08.00-16.00 WIB untuk weekdays dan satu jam lebih lama pada Sabtu dan Minggu.
Setelah membayar tiket seharga Rp 5.000 di lobi, saya masuk ke lantai pertama dari lima tingkat gedung ini. Saya diarahkan ke ruang audio visual untuk melihat video profil museum. Di dalam sudah banyak pelajar yang saling bercengkrama sembari menunggu. Masuk lebih dalam, ada diorama satu keluarga manusia pra aksara saat berburu, sang ayah mengajarkan putranya berburu dan ibu menjelaskan cara mengolah hasil buruan kepada putrinya. Rupanya itu proses pendidikan di masa yang sudah lama berlalu. Setelah itu, ada juga proses pendidikan berbasis agama yang masuk ke Indonesia, serta beberapa maket rumah ibadah yang dahulu digunakan sebagai tempat pendidikan.
Di lantai dua museum yang bertempat di area kampus UPI, Jalan Setiabudi No. 229 Bandung ini, menyimpan berbagai koleksi alat tulis dari zaman dahulu yang berbentuk kepingan batu. Lalu, ada diorama proses belajar mengajar pada jaman kolonial. Di sini juga, ada beberapa komputer yang bisa digunakan pengunjung, untuk bermain game interaktif yang mengasah otak, serta berfungsi juga untuk media belajar pengunjung.
Berlanjut ke lantai tiga, saya menyaksikan beberapa pengunjung yang sedang berinteraksi dengan komputer canggih. Komputer ini dilengkapi dengan sensor yang bisa mendeteksi pergerakan tangan pengguna, rupanya ini proyeksi bentuk pendidikan di masa depan yang dipamerkan di Mupenas UPI.
Menurut Muhammad Rasyid salah satu pengunjung, yang paling menarik dari museum ini, adalah bagian Ki Hajar Dewantara karena beliau adalah bapak pendidikan bangsa. “Saya mendapat banyak manfaat dan ilmu yang baru dari museum ini. Apalagi museumnya bertemakan masa depan,” ulas siswa SMP Negeri 3 Rancaekek tersebut.
***
Memang tak ada habisnya pesona yang ditawarkan kota tercinta, sejarah dan kisah pun turut memberi warna. Seperti oase di tengah gersangnya gurun, museum bisa menjadi pemuas dahaga di tengah jenuhnya daya tarik yang tak lagi menarik. Sudah waktunya menengok sisi yang berbeda, sisi yang memberi edukasi serta emosi yang sudah lama tak dirasa. Layaknya ucapan salah satu bapak bangsa, jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.
Reporter: Vigor M. Loematta/SM
Penulis: Vigor M. Loematta/SM
Tulisan ini pertama kali terbit di Majalah Suara Mahasiswa berjudul “Perempat Akhir Boesoirie” edisi April 2016.