
Teriakan massa “Kami bersama Suara USU,” terdengar dari Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB) dan Aliansi Rakyat Anti Penggurusan (ARAP) di Aksi Kamisan pada Kamis (27/3), di depan Gedung Sate Kota Bandung.
Suaramahasiswa.info, Bandung – Lagi-lagi untuk kesekian kalinya mahasiswa “dibungkam” karena berekspresi. Pada Rabu (26/3), Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Runtung Sitepu memberikan Surat Keputusan (SK) pemecatan 18 awak media Pers Mahasiswa Suara USU.
Pembungkaman mahasiswa bukan pertama kali terjadi. Dalam satu dekade ini, tirto.id mencatat sejumlah upaya pembungkaman terhadap pers mahasiswa. Pada 2014, produk bulletin Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ditarik karena mengkritisi pelaksanaan Ospek. Pada tahun 2015, Majalah LPM Lentera dari Universitas Satya Wacana ditarik polisi dan rektorat karena memberitakan peristiwa 1965 di Salatiga.
Tahun 2016, LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan LPM Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa dibredel oleh pihak rektorat kampusnya. Belum lagi pada tahun 2018, salah satu anggota dari LPM Suaka Universitas Islam Nusantara (UIN) Bandung, mendapat tindakan represif oleh aparat saat mengambil foto demonstrasi Aliansi Rakyat Anti Penggusuran (ARAP).
Pembungkaman yang dialami Pers Mahasiswa Suara USU bukan tanpa alasan. Pembubaran ini dilakukan lantaran terbitnya sebuah karya cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” oleh Yael Stefany Sinaga, Pemimpin Umum Pers Mahasiswa Suara USU.
Dalam siaran pers di suarausu.co, Rektor USU menganggap cerpen mengandung konten berbau pornografi dan LGBT. Padahal, dalam unggahan yang sama, cerpen menceritakan kaum minoritas yang didiskriminasi.
Yael mengatakan cerpen awalnya dirilis pada 12 Maret 2019 di laman suarausu.co. Seminggu kemudian, cerpen dirilis di Instagram Suara USU yang kemudian menuai sejumlah kritik. Ia menjelaskan jika terdapat tiga alasan cerpen dikritik, yaitu (1) Pelangi dalam ilustrasi cerpen dianggap sebagai simbol LGBT, (2) Kalimat yang dianggap berbau pornografi, diantaranya kalimat “Kau sungguh menjijikkan. Rahimmu akan tertutup. Percayalah sperma laki-laki manapun tidak tahan singgah terhadapmu”, dan kalimat “Apa bedanya aku tidak menyukai laki-laki tapi aku menyukai perempuan walau sebenarnya aku perempuan”, (3) Caption yang diambil dari isi cerpen “Kalau setiap hari bawa-bawa agama terus, lama-lama Tuhan bosen juga”.
Menurut Yael, sejak tahun 2017 pihaknya telah mengalami intervensi oleh pihak rektorat. Pada tahun 2017, Suara USU sempat tidak diberikan dana organisasi karena pemberitaan mahasiswa USU yang dipukuli satpam. Di tahun berikutnya, Suara USU diancam akan dibubarkan karena tulisan opini berjudul “Terburu-burunya Akreditasi USU”.
“Ini jadi pelajaran besar bagi pihak rektorat, mereka membungkam, mereka seenaknya dan sewenang-wenang melakukan kebijakan secara sepihak. Enggak ada kajian yang jelas dan landasan yang bersarat tiba-tiba mencabut SK kepengurusan kami. Jaminlah kebebasan mahasiswa untuk berekspresi dan berpendapat karena ini di ranah akademis,” ucap mahasiswi Antropologi USU itu via telepon pada Jumat (29/3).
FKPMB Nyatakan Sikap
Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB) merespon kasus Suara USU dengan menyatakan sikap. Sikap tersebut digaungkan saat aksi Kamisan pada Kamis (28/3) di depan Gedung Sate, Kota Bandung. Selain itu, pernyataan juga diungkapkan lewat siaran pers dan video solidaritas terhadap Suara USU.
Dalam siaran pers tersebut, FKPMB menyatakan:
- Mendukung penuh LPM Suara USU
- Menuntut rektorat Universitas Sumatra Utara untuk mengembalikan hak-hak Lembaga Pers Mahasiswa Suara USU
- Meminta pihak rektorat Universitas Sumatra Utara berpedoman pada Undang Undang No. 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi
- Menolak Pencabutan SK penerbitan Lembaga Pers Mahasiswa Suara USU karena dianggap mencederai Undang Undang yang berlaku.
- Menolak keras pemecatan sepihak anggota Lembaga Pers Mahasiswa Suara USU.
Reporter: Fadil Muhammad/SM
Penulis: Fadil Muhammad/SM