Ilustrasi Nikah Muda.
Segelintir anak muda jika disinggung obrolan tentang pernikahan, di antara mereka ada saja yang berucap “Kapan ya dihalalin?”, atau kebanyakan sudah baper duluan walau hanya mendengar kata halal. Apa kamu juga begitu
Nikah muda seolah menjadi trend global di era digital ini. Melihat banyaknya post di instagram tentang nikah muda yang dijadikan dalih untuk menghindari zinah, menjadi acuan anak muda untuk segera melangsungkan pernikahan dengan pasangannya. Pemicunya adalah hadirnya beberapa influencer berusia muda (bahkan di bawah 20 tahun) yang sudah menikah, dan kerap mengunggah gambaran ‘indahnya’ kehidupan rumah tangga yang mereka jalani. Terlebih untuk beberapa akun dakwah jaman sekarang yang lebih banyak mengenalkan nikah muda. Walaupun tidak ada salahnya, namun terkadang quotes–quotes baper yang beredar terkesan memaksa untuk segera dihalalkan. Padahal untuk menghindari maksiat masih banyak ibadah lain selain menikah muda.
Tidak sedikit yang menjadikan nikah muda sebagai gaya, pamer kemesraan dengan pasangan karena dianggap lumrah. “Kalau sudah halal kenapa harus dilarang?”, begitu kata mereka. Walaupun sebenarnya anak yang memutuskan untuk menikah muda memiliki kelebihan dari anak lainnya. Salah satu kelebihannya adalah berani mengambil resiko dan mengemban tanggung jawab yang lebih dari anak seusianya, mampu menyempurnakan setengah agama dan tanggung jawab orang tua, kemudian dapat memanajemen waktu dengan cukup baik. Namun yang harus dihindari adalah keinginan menikah hanya karena melihat rekan yang telah menikah. Karena menikah bukanlah perkara mudah seperti memasangkan tali sepatu, banyak hal yang perlu dipertimbangkan secara matang agar tidak menyesal kemudian.
Nikah muda sebenarnya merupakan hal yang lumrah, karena sudah marak terjadi bahkan semenjak Indonesia masih dalam masa penjajahan. Nikah muda menjadi tradisi masyarakat. Seperti tradisi di Indramayu, apabila seorang anak perempuan berusia 17 tahun belum menikah, maka ia akan disebut perawan tua. Dilansir dari republika[dot]id, orang Indramayu menganggap janda lebih berharga daripada perawan tua. Oleh karena itu, para orang tua lebih memilih untuk menikahkan anaknya kemudian cerai daripada membiarkan anaknya jadi perawan tua.
Menurut UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, usia batas minimal pernikahan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Batasan usia yang berarti memperbolehkan perempuan untuk menikah sebelum lulus SMA. Hal tersebut mengancam kualitas diri seorang anak yang biasanya memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan pendidikan formal di sekolah. Masa muda seharusnya digunakan untuk mengeksplor diri dan melakukan kegiatan positif seperti mengikuti kejuaraan olimpiade sains maupun olahraga.
Permasalahan bukan berakar pada boleh tidaknya menikah muda, tapi kesiapan calon pengantin dalam membina mahligai rumah tangga. Siap atau tidaknya seorang anak untuk memikirkan apa yang seharusnya belum pantas untuk dipikirkan oleh anak seusianya. Meski tidak ada patokan umur yang bisa mengukur kedewasaan seseorang tetapi kesiapan fisik dan mental mutlak diperlukan. Terlebih lagi, bagi perempuan yang bukan hanya harus siap lahir batin sebagai seorang istri tetapi juga seorang ibu.
Menikah muda di usia ketika organ-organ reproduksi perempuan belum sepenuhnya siap, dapat berakibat kehamilan yang seringkali berdampak fatal. Bahkan menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia yang dilansir dari hipwee[dot]com, pemicu kematian perempuan Indonesia terbesar adalah hamil dan melahirkan di usia anak. Setiap 100.000 angka kelahiran hidup, ada 359 ibu meninggal. Salah satu angka tertinggi di Asia.
Oleh karena itu, mental untuk menikah muda menjadi ujung tombak seseorang tetap melangsungkan pernikahan, bukan sekedar gaya apalagi budaya. Menikah muda tidak ada salahnya bahkan menjadi amal ibadah yang lebih baik di mata Allah, terlebih bila keputusan untuk menikah dapat ditanggungjawabkan. Jika kamu sudah merasa ‘siap’ menikah muda, kenapa tidak?
Oleh: Aisah Nuraisah, Mahasiswi Fakultas Dakwah Unisba 2015