Ilustrasi poligami. (Foto/Kumparan)
Hidup di keluarga berpoligami memang sangat sulit untuk dilewati, masa-masa tak biasa datang hilir berganti menimpaku. Mungkin bagi sebagian orang hidup di keluarga seperti itu adalah hal yang biasa, dan bisa dilewati dengan mudah. Namun bagiku itu sangat sulit. Jujur, kala itu hari-hariku dirundung kesedihan, kecewa, dan gelisah. Batinku belum bisa menerimanya dengan mudah.
Sebelum aku jabarkan permasalahannya, aku akan memperkenalkan keluargaku. Aku adalah anak perempuan tertua dari hasil pernikahan ibu dan ayahku. Saat ini aku berusia kepala dua. Aku memiliki saudari kandung perempuan. Aku perempuan, seperti ibuku. Perempuan akan merasakan hal yang sama. Apalagi aku sebagai anaknya.
Cerita bermula pada saat tujuh tahun lalu, ayahku memutuskan untuk membagi cintanya dengan orang lain. Yang mana keputusan itu sangat membuat keluarga kecil kami sedih bak dihantam ombak besar. Air mata ibuku habis tak terbendung, aku dan saudariku muak dengan keadaan sedih seperti itu. Benar, aku sangat membenci wanita itu. Wanita yang jelas telah merebut kebahagiaan kami. Namun mau tak mau sekarang ia adalah ibu tiriku.
Awalnya ayahku dikenalkan rekan kerjanya kepada wanita tersebut. Wanita (ibu tiriku) itu single parent dengan satu anak laki-laki. Kata ayahku, wanita itu hidupnya serba kekurangan. Alih-alih membantunya, ayahku memutuskan menikahinya. Ibu sempat memberi pilihan untuk tetap bersama ibu dan tinggalkan dia, atau bersamanya tapi ibu pergi. Namun, ayahku enggan memutuskan salah satunya. Ia tetap memutuskan untuk memadu.
Ibuku awalnya memutuskan untuk berpisah, namun kekuatan cintanya pada anak dan suami meneguhkan hatinya untuk tetap tinggal. Setelah berdiskusi cukup lama, akhirnya kami ikhlas dan menerima keadaan.
Tahun berganti tahun, kami sekelurga tetap menjalankan rutinitas kehidupan berkeluarga sebagai mana mestinya. Mungkin yang membedakan, adalah dalam satu minggu, ayahku tidak ada di rumah tepat Selasa dan Kamis. Setiap Sabtu dan Minggu, ayahku tidak sepenuhnya di rumah. Bukan hanya itu, ayah membagi resiko uang dapur ibu untuk wanita itu. Lalu aku mempunyai adik baru. Ya benar, anak dari wanita itu, adik tiriku.
Satu tahun berlalu setelah ayah memutuskan berpoligami, ibu tiriku mengandung anak dari ayah. Badai hebat kembali datang menghampiri keluarga kami. Padahal bekas bencana kemarin pun belum pulih. Ibuku diuji lagi. Ketakutanku akan perpisahan mereka terus menempel dipikiran. Setiap hari, kedua orangtuaku memperdebatkan hal itu. Ibuku akan pergi meninggalkan kami “lagi”.
Kesepakatan untuk menjalin kembali tali rumah tangga keluarga ku, yakni dengan komitmen. Ibuku memang sempat amat marah dan kecewa, karena datangnya jabang bayi itu. Namun lagi-lagi ibu tetaplah ibu, ia menghargai kedatangan bayi mungil berjenis kelamin perempuan. Ia lucu dan cantik. Ibu menerima bayi itu, sungguh. Bahkan ibuku rela dipanggil ibu oleh bayi yang saat ini beranjak besar.
Perubahan kembali aku alami, kasih sayang ayahku terbagi lagi kepada anaknya itu, aku pun atas dasar tuntutan takdir harus menjadi kakaknya. Saudaraku bertambah, ayahku sekarang membawa dua sosok saudara yang menjadi adikku. Panggilan kaka terngiang di kepala setiap kali aku bertemu dua bocah itu.
Aku menyayanginya meski hatiku memang luka acapkali melihat matanya yang mungil itu. Ia tidak sadar bahwa ayahnya pun juga ayahku namun berbeda ibu. Bocah kecil itu selalu sedih ketika ayahnya tidak ada di rumah. “Dede suka nangis kalau bapak tinggal”, kata ayahku.
Aku yang paham memang sudah seharusnya memahami, tapi untuk bocah itu, kelak jika dia dewasa, akankah paham dengan keadaan. Aku, ibuku, dan bocah kecil ini adalah perempuan. Paham maksudku?
Begini, ketika bocah itu dewasa dan sadar apa itu poligami, akankah bocah kecil ini menerima semua itu? Mungkin iya, mungkin tidak. Jadi sederhananya aku, bocah itu, ibuku dan saudaraku yang lain mungkin memang jelas terbagi kasih sayangnya. Kasih seorang ayah yang tidak utuh. Meski begitu, aku tetap menyayangi ayahku hingga kapan pun.
Dari kisah yang aku alami sendiri, imbas dari poligami adalah anak, walaupun ibu yang paling merasakan sakit. Anak adalah subjek yang tidak dihiraukan dalam kasus poligami. Bukan hanya aku, tapi anak dari istri muda ayahku akan merasakannya kelak ketika dewasa.
Agama kami memang memperbolehkan adanya poligami. Secara historis pun, Nabi Muhammad menjadi teladan dalam berpoligami. Nyatanya, poligami hanya merenggut kebahagiaan keluarga pertamanya, seperti yang aku alami.
Dalam perjalananku sebagai anak dari orangtua yang poligami, aku salut dengan ibuku yang sangat kuat menjalani hari-harinya. Ibuku selalu menjadi istri yang tetap berbakti meski hati kecilnya sedih.
Maaf ayah, aku menceritakan cerita ini.
Salam sayang untuk ayah dan Ibu.
___
Penulis merahasiakan identitas demi melindungi dirinya.