Foto: Dokumentasi Suara Mahasiswa
Suaramahasiswa.info – Singapura, siapa yang tidak mengenal Negeri Singa ini? Negara yang hanya berjarak 72 kilometer dari Indonesia ini, menjadi pilihan kebanyakan masyarakat kita untuk berekreasi. Makanan enak, atraksi yang keren dan gaya hidup ultra-modern menjadi daya tarik tersendiri yang menyeret saya untuk berkunjung ke negara tetangga ini.
Tak membutuhkan waktu lama untuk singgah ke Singapura. Terhitung hanya satu jam lima puluh menit, pesawat membawa saya menuju Bandara Internasional Changi, Singapura. Kemegahan sangat terasa saat saya sampai di bandara bergaya arsitektur modern dan futuristik itu, wajar di tahun 2017 SkyTrax menobatkan Changi sebagai landasan No.1 terbaik di dunia.
Selain dikenal dengan ikon ikan berkepala singa, Singapura pun dijuluki Negeri Seribu Larangan. Lucunya hal itu terlihat langsung ketika saya sedang mengantri pemeriksaan tas oleh custom protection. Tiba-tiba seorang pria menerobos antrian. Petugas keamanan pun sontak memarahinya dengan tegas, dan menyuruh orang tersebut untuk mengantri paling belakang.
Satu hal lainnya yang membuat saya menyukai negeri singa ini. Saat saya akan naik taksi, tak perlu menunggu lama atau berebut dengan penumpang lainnya. Petugas khusus dengan suara lantang nan cepat mengarahkan calon penumpang yang antre untuk menaiki taksi. Taksi pun membawa saya pergi meninggalkan bandara menuju daerah Bukit Batok West Ave 4, tempat kediaman saudara saya. Sampai di rumah, saya beristrihat dan bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan esok hari.
Penggalan Kisah dari Chinatown, Singapura
Mentari perlahan mengintip diantara awan yang merenggang. Sisa energi juga sudah bertambah setelah diisi nasi goreng dilengkapi telor dadar. Ditemani salah seorang saudara, saya pun melanjutkan perjalanan di Singapura.
Dengan menggunakan trasportasi Publik, Bus dan Mass Rapid Transit (MRT), saya memulai perjalanan ke Chinatown. Kurang lebih 21 km dengan kurun waktu 30 menit saya sampai di Stasiun MRT Chinatown. Keluar dari stasiun, disambut lah saya dengan pagoda yang berwarna warni. Suasana ala negeri Cina semakin terlihat pada hiasan disepanjang jalan yang didominasi warna merah dan kuning.
Di pertengahan perjalanan, saya menyinggahi Kuil Sri Mariamman Temple bergaya Tiongkok yang bersebelahan dengan Masjid Jamae. Tempat peribadahan umat Muslim ini menyita perhatian saya. berbanding terbalik dengan pemandangan Chinatown yang di dominasi aksen Tioghoa, Masjid Jamae menawarkan kekhasan tersendiri. Gerbang depannya dipengaruhi oleh langgam Indo-Islam India Selatan. Fasadnya yang mewah berdesain rumit ini dilengkapi pintu kecil dan bukan berbentuk salib –patut diamati. Sementara ruang salatnya mengusung aksen neoklasik dengan tiang dorian yang berjendela besar dan ubin hijau mengkilap ala Tiongkok.
Tidak jauh dari masjid Jamae, tiba lah saya di tempat yang banyak dibicarakan, Pagoda Street. Trotoar beratap padat, gang suram, dan pedagang kaki lima yang berisik merupakan ciri khas dari kawasan ini. Berjajar toko oleh-oleh khas singapura yang sangat terkenal akan harganya yang murah. Selain itu ada juga pengrajin emas, balai pengobatan, dan kedai teh yang dikelola oleh keluarga, berdiri bersebelahan dengan bar keren dan toko-toko life-style.
Suasana cukup ramai kala itu, perpaduan wisatawan, pedagang dan masyarakat yang hanya numpang lewat, berkumpul di dalam satu gang. Saat sedang berjalan menelusuri pagoda street, nampak seorang kakek pengrajin tulisan mandarin di kertas khas china yang menarik perhatian saya. Setelah berkenalan, saya tahu bahwa kakek tersebut bernama James Koh. Ia bercerita, sesuai dengan namanya, chinatown merupakan kawasan pecinaan di Singapura. Banyak pedagang imigran dan asli dari Singapura berdarah tiongkok di daerah itu. “I have been business here for last eight years,” ucap James dengan logat khas Singlish-nya.
Pesona masa lalu yang penuh warna, Little India
Perjalanan dilanjutkan ke daerah komunitas India-Singapura yang penduduknya cukup banyak di negeri ini. Sebuah kawasan yang memadukan budaya dan tradisi, serta spiritual dari masyarakat etnis India nampak indah di pusat kota. Perdagangan masa lalu berdampingan dengan bisnis baru: penjual karangan bunga, restoran modern, hotel, butik, serta kelompok seni menjadi harmonisasi di tempat ini.
Aroma paduan rempah-rempah dan harum dupa, minyak wangi khas masyarakat India yang berasal dari area lokasi tercium pekat mejejali rongga hidung. Bukan hanya saat menginjakan kaki saja wanginya tercium, bahkan disetiap lorong kawasan sudut tempat wisata Little India.
Masih di distrik Little India, tepatnya di Seragoon Road Singapore yang panjang kita dapat menemukan sebuah deretan bangunan toko heritage India. Kanan-kiri jalan bangunan berwarna-warni dengan pemandangan kain khas india yang digantung dan dipajang untuk diperjual belikan.
Selagi saya menikmati keindahan di sini, saya bertemu dengan salah satu wisatawan Inggris, Lucy Diss. Di sana ia sedang mengabadikan gambar menggunakan kamera pocket-nya sambil mencari tahu sejarah Little India. “I love the colorful building in here,” ucap wanita berambut coklat tua tersebut.
Matahari cukup terik kala itu, saya pun duduk di salah satu tempat makan. Selagi meneduh saya menghampiri salah satu pebisnis di Little India, Mythuvell yang sedang duduk santai. Ia bercerita seluruh bangunan yang ada di sini merupakan tempat bersejarah, terutama kuil Hindu tertua di Singapura dan Mesjid Anggulia. Dulu, di sini merupakan kawasan pacuan kuda, penggembalaan ternak, dan pembakaran batu bata. Saat abad ke-20 perkembangan ekonomi di Singapura berkembang sangat pesat hingga perdagangan ternak pun ikut maju. Perniagaan ternak menjadi mata pencarian utama di Little India, sampai imigran India pun harus mereka pekerjakan.
Titik Utama Masyarakat Muslim Singapura, Arab Street
Adzan zuhur pun berkumandang, saya memutuskan pergi ke wilayah Arab Street atau bisa disebut Kampong Glam. Destinasi ini dikenal karena adanya mesjid tertua Singapura, yang bernama Mesjid Sultan. Sesaat sampai di sana, terlihat gerombolan umat muslim keluar dari mesjid setelah melaksanakan salat Jumat
Mendekati tempat wudhu laki-laki saya menghampiri seorang kakek yang keluar dari pintu mesjid. Ia adalah orang melayu Singapura asli, Ali Bin Safar. Senang rasanya bisa bertemu orang berbahasa melayu. Dengan bahasa kami yang tidak jauh berbeda, saya pun memutuskan untuk berbincang sebentar bersama kakek tersebut.
Kakek Ali bercerita mesjid terbesar dan tertua di singapura ini telah berdiri 100 tahun lebih. Mesjid ini dibuat oleh orang Pakistan. Menurutnya, sejak dulu mayoritas yang tinggal di daerah ini ialah orang Arab, hingga tempat ini dinamai Arab Street.
“Di sini memang tempat orang Arab singgah dulu. Muslim melayu Singapura banyak ramai lah di sini. Muslim Cina kurang di sini sekali. Yang malang, sekarang muslim melayu Singapura kurang kanak-kanak,” tanggap kakek dengan logat khas melayunya.
Hampir setiap sisi jalan, di lokasi Arab Street ini, banyak ditemukan sebuah bangunan kedai atau warung yang menyerupai pagoda di Chinatown. Bedanya, hiasan yang dipakai tak seramai di Pagoda Street. Di sini dijajakan alat-alat dan perlengkapan ibadah untuk umat muslim seperti peci, kitab suci Al Qur’an, sajadah dan tidak ketinggalan kerajinan tekstil yang beraneka ragam corak dan bentuknya.
Seorang wisatawan asing berdiri di depan gerbang belakang mesjid seperti memperhatikan setiap detail bangunan Mesjid Sultan, hal itu menarik perhatian saya. Namanya, Marta Rosia. Wanita berumur 30 tahun ini berkomentar jika Mesjid Sultan adalah sesuatu yang luar biasa, sangat special untuk umat muslim dan iconic disini. Namun, Ia menyayangkan, tidak bisa masuk ke mesjid untuk mengetahui keadaan di dalam. “Very beautiful and it’s nice place to visit,” tutur wisatawan dari Italia tersebut.
Tak terasa perjalanan singkat saya di sebuah negeri yang berawal dari perkampungan kecil nelayan ini telah berakhir. Kini Singapura berhasil bermetamorfosis sebagai negeri kosmopolitan yang kaya akan budaya. Keragaman masyarakatnya yang multi-etnis yakni Tionghoa, India dan Arab, membuat mereka bersinergi, dan berjalan harmonis. (Puteri Redha/SM)