Oleh: Bobby Agung Prasetyo*
Alkisah pada suatu zaman di mana kebobrokannya melebihi masa jahiliyah, digelarlah rapat wakil rakyat yang dipimpin oleh seorang wanita lanjut usia. Dengan segala kepolosannya yang didominasi oleh kultur sunda, ia berteriak “mana palu na, euweuh? (arti: mana palunya, tidak ada?)” ketika ia hendak mengetuk palu pada kondisi ricuh-ricuh di Gedung DPR.
Lantas, siapakah wanita tersebut?
Namanya adalah Popong Otje Djundjunan, berasal dari Kota Bandung. Sebagian merasa asing, sisanya sudah biasa. Masih tak ada yang ngeh akan siapa sosok ini? Mari soroti nama belakangnya, Djundjunan.
Ya, Popong merupakan istri dari R. Otje Djundjunan, Walikota Bandung masa bakti 1971-1976 (mayoritas orang tahu Djundjunan melalui namanya yang dipakai sebagai nama jalan di daerah Pasteur). Otje merupakan pemimpin Kota Bandung berpangkat kolonel, terkenal karena kepemimpinannya yang tegas. Tak tanggung-tanggung, pada 1972, Otje membelah dua Jln. Ir. H. Juanda, Dago, lalu mempersempit jalur kendaraannya dengan menambahkan jalur hijau. Ini bukan keinginan labil ala ABG; pada masa itu banyak sekali balap liar yang dilangsungkan di sana. Otje merasa gusar, lalu tercetuslah pembelahan jalan ini. Selain itu, kebijakan non-populer yang ia lakukan adalah mengeluarkan peraturan untuk mewajibkan pedagang dan penyimpan beras yang punya persediaan lebih dari 100 kg untuk melapor ke Pemerintah Kota Bandung. Lewat aturan itu, Otje dapat menindak pedagang yang sengaja menimbun beras dan mengakibatkan harga naik.
Hal di atas merupakan salah satu penyebab Popong eksis sedari dulu. Salah duanya adalah ia sudah aktif sebagai politisi Partai Golkar sejak 1987, salah tiganya menjadi penentang beberapa kebijakan di Indonesia seperti efektivitas UN yang ia rasa tak adil untuk dijadikan sebagai penentu kelulusan—berangkat dari karir awalnya sebagai guru.
Dalam segelintir percakapan dengan teman-teman mahasiswa, banyak pro-kontra ditujukan pada wanita yang beken dengan panggilan ‘Ceu Popong’ tersebut. Kaum kritis yang tak tahu latar historis, sepaket dengan mereka yang bukan berasal dari Bandung, berujar bahwa Popong adalah indikasi kebobrokan wakil rakyat saat ini; sempit intelek, norak, ndeso, tak layak, renta, dan sebagainya. Mereka yang mendukung wanita berusia 76 tahun ini, berkata bahwa ia merupakan sosok yang lantang dalam melawan kebijakan di Indonesia. Selain perihal UN, ia sempat mengutarakan tentang keresahannya terhadap pejabat dan menteri yang terlalu hobi buat berujar dengan menggunakan istilah asing, meski pada dasarnya ia adalah guru Bahasa Inggris. Sebagai anggota dewan dari Komisi X yang notabenenya mengurusi kebudayaan, Popong terus bersikap kritis akan hal yang bahkan kecil tersebut.
Meski begitu, beberapa hal tak berguna menurut saya dalam tubuh legislatif negara ini juga pernah ada keterlibatan Popong di dalamnya. Sebut saja lawatan DPR menuju sejumlah negara seperti Jepang, Afrika Selatan, dan juga Korea Selatan, yang bertujuan untuk melakukan studi banding. Beberapa bahkan hampir semua kalangan menganggap bahwa ini adalah agenda hambur-hambur uang yang dilakukan DPR; dan Popong ada di sana sebagai Panitia Kerja (Panja). Manusia, sesempurna-sempurnanya, tetaplah manusia: ladang kesalahan.
Perlu pendalaman paradigma seputar sosok dan apa yang sudah ia lakukan dalam waktu mundur. Pada kasus Popong yang kita anggap nyeleneh ini, mari beranalogi soal latar belakang historikal Nyonya Djundjunan tersebut dengan tragedi kehilangan palunya. Sama seperti palu, jika kita kehilangan nalar dalam mengkaji suatu hal, maka perkara takkan pernah terpecahkan. Segenggam palu milik Popong, diibaratkan sama dengan seonggok otak. Mengadili seseorang tanpa melihat tindak tanduknya kebelakang, adalah tak berotak. Ini adalah tipikal kita, Indonesia, yang harus segera dibenahi. Siapapun, dari mulai tukang bubur (tanpa embel-embel “naik haji”) hingga presiden.
Jika Popong kehilangan palu, maka mayoritas warga Indonesia dengan segala macam judgement-nya yang tak mendasar, kehilangan otaknya.
*penulis adalah Pemimpin Umum Pers Suara Mahasiswa