Sosok BJ Habibie Sebagai Bapak Demokrasi Indonesia. (Foto: Wikicommon/1987)
Suaramahasiswa.info, Unisba- Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia kerap dilanda berbagai persoalan, mulai dari masalah sosial seperti diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dan hilangnya kebebasan pers hingga krisis yang melanda perekonomian. Bak maja utama, luka rakyat menyeruak pada Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) tahun 1974. Dibatasinya hak suara massa aksi berujung pada perusakan fasilitas publik dan pribadi merupakan bentuk dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah di bidang sosial dan ekonomi saat itu.
Peristiwa berasap yang terjadi di Jakarta itulah yang ikut mengguncang kondisi pers di masa itu. Menurut David T. Hill, ada 12 pers yang dibredel pemerintah dengan dicabutnya surat izin terbit dan cetak. Begitu pula Akhmad Effendi dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Pers di Indonesia, menjelaskan kondisi pers yang saat itu digunakan pemerintah sebagai alat mempertahankan kekuasaan. Media hanya boleh memberitakan hal baik yang kemudian diawasi oleh Departemen Penerangan sehingga gerak media massa semakin sempit.
Tindakan represif terhadap pers pada saat itu mengetuk pintu hati Bacharuddin Jusuf Habibie, Mantan Presiden Indonesia ke-3 untuk membuka jalan kemerdekaan pers melalui Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. UU tersebut perlahan membuka pintu kebebasan para jurnalis dalam berkegiatan tanpa takut dikekang bahkan dibredel oleh pemerintah. Menurutnya keputusan untuk membebaskan kegiatan pers, tak lain juga untuk mengoreksi kinerjanya sebagai presiden.
Walaupun masa jabatan yang terbilang singkat, Pria kelahiran Parepare 25 Juni 1936 ini tidak hanya meninggalkan satu kebijakan besar bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Setelah membebaskan kekangan terhadap jurnalis, ia pun mengeluarkan berbagai kebijakan terkait diskriminasi terhadap wanita dan penduduk etnis Tionghoa, kekerasan seksual, dan kebebasan berpendapat dalam rapat umum maupun unjuk rasa.
Habibie mendengarkan dengan baik tanpa memotong pembicaraan saat mendengarkan Saparinah Sadli yang membahas kasus kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa pasca kerusuhan Mei 1998. Dari pertemuan tersebut, lahir Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang tercatat dalam Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998. Dibentuknya Komnas Perempuan memunculkan harapan untuk kesejahteraan perempuan di Indonesia khususnya korban kekerasan seksual pada Peristiwa 1998.
Saparinah selaku mantan Ketua Komnas Perempuan, merasa Habibie telah merealisasikan tuntutan juga mimpi perempuan Indonesia agar bisa hidup dan berkarya di tengah masyarakat serta keluarga tanpa mengalami diskriminasi. Ia menganggap Komnas ini sebagai jalan awal untuk menghadapi berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Setelah kasus kekerasan seksual, ia pun menindak diskriminasi yang menimpa etnis Tionghoa melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 26 Tahun 1999 dan Inpres Nomor 4 tahun 1999. Kedua Instruksi tersebut lahir pasca kerusuhan Mei 1998 yang kemudian menghapus istilah pribumi, non-pribumi dan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI).
Ia pun kembali menghidupkan demokrasi di Indonesia dengan mengubah UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang partai politik dan golongan karya. Sebab menurutnya, UU tersebut sudah tidak menampung aspirasi politik. Dengan begitu ia ingin membuat landasan hukum yang bisa menjamin peran masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akhirnya Habibie melahirkan keputusan pemilu bebas salah satunya tentang partai politik yang tercatat dalam UU Nomor 2 Tahun 1999. Sejak adanya pembebasan pendirian partai politik, menjadikan pemilu pertama era reformasi diikuti oleh 48 partai politik dari yang semula hanya diikuti tiga partai politik saja. Kebijakan ini akhirnya menjadikan pemilu pada saat itu menjadi bebas dan demokratis.
Dengan beberapa kebijakan Habibie yang bisa melepaskan sikap otoriter pemerintah pada masa itu, membuat masyarakat menganggap bahwa dirinya merupakan pembuka pintu demokrasi Indonesia. Kecerdasannya dalam memimpin negara pun diakui oleh seorang guru besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI), Sardy Sar yang menyebut bahwa Habibie memiliki pola pikir yang strategis untuk kemajuan negeri.
“Pak Habibie adalah seseorang yang punya pola pikir strategis terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri ini. Beliau mengerti industri mana yang harus dimajukan agar bangsa ini mampu berdikari dalam menghadapi berbagai tantangan untuk masa depan.” Ungkap Sardy dalam salah satu wawancara dengan Kemenag.go.id.
Dengan kepeduliannya kepada sesama menjadikannya sosok pemimpin yang ideal hingga dapat memberikan perubahan-perubahan yang besar untuk negeri ini. Kebijakan-kebijakan yang dibuatnya selama menjadi Presiden membuatnya dijuluki “Bapak Demokrasi Indonesia”.
Penulis: Putri Mutia Rahman
Editor: Muhammad Khaira Faiq