
Foto ilustrasi.
Dalam sejarah, pintu kemajuan ada di tangan intelektualitas pemuda. Kendati begitu, kini mereka lebih gandrung akan seksualitas.
Wajar jika kini sering kali indera kita direcoki dengan bahasan seksualitas. Tidak hanya dibicarakan melalui mulut ke mulut atau komentar, tetapi juga like dan share di media sosial. Misalnya, video music Thailand sampai pemberitaan mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) sebagai korban pemerkosaan yang juga tengah hangat akhir-akhir ini. Alih alih membahas hal intelek, kaula muda lebih bersemangat membahas seksualitas.
Terlebih, diskusi kaula muda soal seksualitas ini hanya berputar-putar soal pemuas hasrat hewani, tidak sampai nilai intelektualitasnya. Akibatnya, seksualitas dipahami tidak lebih sebagai kekaguman pada keindahan lekuk tubuh perempuan. Mereka luput. Padahal dahulu, sehari-hari perempuan nyaris telanjang. Andai mereka hidup di kala itu, sulit dibayangkan jika mereka bersikap persis seperti sekarang. Menikmatinya sambil memasang mimik muka bersemu merah dan malu malu kucing.
Kita ketahui dalam sejarahnya organisasi Boedi Oetomo atau forum-forum diskusi yang dibangun oleh Soekarno di Bandung dan Soepomo di Surabaya menjadi cikal bakal lahirnya kesadaran nasional. Perkumpulan pemuda ini lahir dari kesadaran kritis intelektual. Tentulah hal ini merupakan buah dari disiplin keilmuan yang ketat. Membaca berpuluh (mungkin) berates buku intelek hingga melahirkan pemikiran-pemikiran segar yang menghantar pada perubahan.
Individu intelek atau bisa diartikan sebagai orang yang dalam berbuat itu sadar, kritis dan mampu bersikap juga menilai serta memberikan penjelasan objektif terhadap situasi terkini. Hal ini lahir dari pengasahan daya pikir bukan mengasah kelamin. Hobi menghabiskan berjilid-jilid film pemuas seksualitas.
Selain melahirkan organ-organ yang mampu menciptakan kesadaran, intelektualitas pemuda juga mampu menghantar pribadinya pada kepedulian sosial. Pribadi intelek adalah pribadi yang sadar dan mampu berbuat untuk lingkungan di luarnya. Berbeda, seksualitas justru begitu private kepentingannya.
Individu yang lahir dari kesibukan mengurusi seksualitas bisa kita temukan pada diri-diri yang mudah frustrasi karena putus cinta. Padahal kita tahu tokoh pemikir seperti Tan Malaka justru tidak menikah hingga akhir hayatnya. Tokoh intelek lainnya Mohammad Hatta yang berjanji tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka, dan memang demikian.
Apakah gejala hobi mengurusi seksualitas ini terjadi hanya di Indonesia saja?
Mulanya di Indonesia seksualiatas terutama hubungan seks hanya dinikmati oleh individu atau bersifat private saja. Namun berdasar perkembangannya, justru sesuatu yang mulanya dianggap sakral ini dijadikan konsumsi publik. Bahwa perbuatan memuaskan kelamin atau seksualitas tidak lagi bersifat private.
Tentu derasnya informasi Barat (baca: seksualitas) yang masuk dan mudah diakses berpengaruh besar dalam hal ini. Ditambah tidak diimbanginya pemahaman moral dan norma ketimuran yang didapatkan, akhirnya mampu merubah pola pikir ekstrim karena pemahaman tidak koheren juga tidak mampunya individu mengambil konteks.
Di negara yang dikatakan maju seperti Amerika Serikat, Ingris dan kawan-kawan yang memberlakukan kebebasan dalam banyak hal termasuk urusan seksualitas, tidak bisa dipungkiri dengan banyak krisis yang diakibatkan setelahnya. Penyakit HIV Aids, eksploitasi perempuan, banyak kehamilan dini yang terjadi, meski hal ini telah dibarengi dengan pendidikan seks sejak dini yang dalam datanya, krisis ini memang lebih tinggi dari Indonesia. Tentulah ketika asas kebebasan ini diadopsi oleh masyarakat Indonesia harus juga diterima segala bentuk risikonya.
Budaya ini pun menjadi salah satu sebab tidak seimbangnya peradaban dunia, di negara yang dikatakan maju serta kesenjangannya juga tinggi. Begitu pun di Indonesia yang dikatakan negara berkembang, kesenjangan masyarakat pun sama tingginya. Menengok sejarah perubahan lahir dari generasi yang gandrung akan intelektualitas bukan seksualitas. Pemikiran kesejahteraan sosial pastilah lahir dari pemuda yang mengasah pemikirannya bukan kelaminnya.
Oleh Ressy Rizki Utari, mahasiswa Fakultas Hukum 2015.