Mungkin ini akan menjadi klise. Saat anda memperdebatkan kebenaran yang notabene selalu terbentur relativitas. Namun karena sifat relativitasnya itu, pantas saja bila dalam kode etik jurnalistik, pasal 11 membahas tentang; Hak Jawab dan Hak Koreksi. Dua hak milik pembaca media yang merasa tak sejalan kebenarannya dengan hasil liputan ‘si buruh tinta’.
Terkait kasus sejawat kami, yang ditarik majalahnya, dan dititah untuk dibakar pula, agaknya kebebasan pers kembali dipertanyakan. Sebuah majalah yang memperingati 50 tahun tragedi 1965, dengan topik utama pembantaian simpatisan PKI di Salatiga dan sekitar.
Tepatnya lima hari yang lalu, Bima Satria Putra sang Pemimpin Redaksi, mengaku pada Tempo Online bahwa majalah Lentera mendapat respon negatif dari wali kota, kepolisian, dan pihak militer. Hal ini mengantarkan ia ke ruang introgasi pada Minggu, 18 Oktober lalu. Pihak pengintrogasi meminta distribusi majalah diberhentikan dan mengumpulkannya untuk dihanguskan.
Sepetik kisah yang dialami oleh kawan-kawan Lentera (Pers Mahasiswa Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana) di atas, menggambarkan bahwa tidak semua elemen masyarakat mengerti akan hak mereka untuk menjawab, dan mengkoreksi informasi dalam media. Sebuah hak yang diberikan untuk anda yang tak sejalan, agar tetap bersuara dalam ruang media yang sama. Ketimbang menggunakan kekuatan untuk menyelesaikan perkara.
Di sisi lain, ketiadaan payung hukum untuk Lembaga Pers Kampus pun menjadi celah tersendiri bagi berbagi pihak. Hal ini perlu kami renungi lagi, untuk mencari tahu apa perlunya payung hukum itu, mengingat solidaritas lebih tinggi harkat martabatnya bagi sesama pejuang tinta.
Untuk itu, mari renungi lagi. Ketimbang mengisi laman komentar yang belum tentu dibaca, mengapa tidak buat empat paragraf klarifikasi bahkan kritikan agar diterbitkan di media yang anda inginkan, ketimbang bersikap represif. Dengan hal ini tentu akan lebih mencerdaskan pembaca lainnya bukan?
Redaksi.