Ilustrasi sarjana. (Foto/Ifsani Ehsan)
Suaramahasiswa.info, Bandung – Di sebuah indekos, bertumpuk skripsi dengan cover warna hijau di sebelah laptop. Gundukan buku tebal hijau itu menjadi saksi bisu Djarot (bukan nama sebenarnya), dalam membantu para mahasiswa untuk mengerjakan skripsi. “Enggak tahu berapa banyak yang sudah saya kerjain, lupa saya,” kata Djarot sambil melirik tumpukan skripsi tersebut.
Indekos yang berada di kawasan Cikutra ini, menjadi tempat Djarot menjalankan pekerjaannya sehari-hari. Tepat di seberang meja laptopnya, tersusun rapi buku-buku seperti Pengantar Ilmu Komunikasi, Semiotika Media, Feminisme sampai Trilogi Syekh Siti Jenar. Peralatan gitar miliknya pun ikut menghiasi tempat ini.
Senin sore, 24 Oktober 2016, Djarot tengah asyik berbincang dengan mahasiswa yang pernah menjadi kliennya. “Nah ini salah satunya, dia paham betul teori komunikasi karena dia belajar di sini sampai paham dan siap untuk sidang. Malahan sampai sekarang terus silaturahmi, masalah apapun dikonsultasikan di sini,” kata Djarot, sambil menepuk paha rekannya yang duduk bersila di dekatnya.
Djarot berkisah, saat ingin memulai proses pembuatan skripsi, ia akan memulai pembicaraan mengenai hal yang menarik bagi kliennya. Dari situ mulai diolah ketertarikan tersebut hingga menjadi judul skripsi. Hal ini ia lakukan karena menurutnya setiap mahasiswa selalu bingung dengan sistematika penulisan penelitian. “Sama dosen dihajar terus, tapi setelah ke sini dia paham motif-motifnya. Saya sebagai kakak hanya menstimulus mahasiswa,” katanya.
Usai perumusan tersebut dan beberapa bab terselesaikan, mahasiswa akan datang lagi ketika skripsinya direvisi dosen, yang kemudian akan Djarot revisi. Ia pun akan menjelaskan kembali bahasan pada skripsi yang dikerjaan sampai kliennya mengerti. Djarot juga menjadwalkan simulasi sidang. Sistemnya, Djarot akan memposisikan diri sebagai dosen penguji dan kliennya akan ia ajukan pertanyaan seputar skripsinya. Baginya pemahaman yang ia berikan pada mahasiswa tidak akan membuat dosen tahu bahwa skripsinya dibuatkan oleh Djarot. Sejauh ini, menurutnya belum ada klien yang ketahuan oleh dosen.
Djarot membandrol jasa garap skripsi mulai dari Rp 4juta sampai Rp 8juta per tiga bulan. Harga tersebut ia tetapkan tergantung pada tingkat kesulitan skripsi. Bila kliennya telah melewati tiga bulan dan kelipatannya, klien tersebut akan dikenakan biaya tambahan. Hal ini ia lakukan untuk memotivasi mereka agar skripsinya cepat selesai.
Selain mahasiswa Unisba, Djarot juga melayani mahasiswa dari kampus lain. Seperti mahasiswa Unpar dan Unpas yang pernah menjadi kliennya. Meski fokusnya ilmu komunikasi, tapi ia pernah mendapat klien dari Fakultas Hukum dan Psikologi. Kendati begitu, tetap saja mayoritas berasal dari Fikom.
Untuk mempermudah pekerjaannya, Djarot memberi batasan dengan hanya menampung tujuh klien dalam setiap pengerjaannya. Lain lagi jika dirinya tidak mampu mengerjakan skripsi, biasanya ia akan menolak. Sebab dulu ia pernah didatangi mahasiswa Unpas. Namun karena bahasan yang diteliti anak tersebut kurang ia pahami maka ia menolak untuk membantunya.
“Ada yang murni dibuatin tapi dengan syarat anaknya tahu tujuannya apa, fungsi datang ke sini untuk apa, dan tanggung jawabnya apa. Ketika berbicara masalah tanggung jawab dia harus sadar betul terhadap penelitiannya. Kalau Cuma maunya dibuatin saja, saya suka nyuruh anaknya pergi saja. Saya mah suka bilang ‘sok cokot duitna, teangan batur’ (ambil saja uangnya, cari orang lain),” ujar Djarot, sambil menghisap sebatang rokok yang dihimpit kedua jarinya.
Kebanyakan para pembuat skripsi hanya membuatkan saja, tanpa memberikan pemahaman kepada mahasiswa. Ia menyebut hal ini yang membuat mahasiswa pada akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan padanya. “Mereka biasanya tahu dari teman ke teman karena saya tidak pernah pasang iklan,” ungkapnya.
Kisah Awal jadi Konsultan Skripsi
Di ruangan itu, Djarot menceritakan awal mula terciptanya pekerjaan yang ia tekuni. Setelah delapan tahun mengenyam pendidikan di Unisba, ia diajak oleh tiga teman yang merupakan mahasiswa Unpad untuk membuka konsultasi skripsi. Mendapat tawaran tersebut, Djarot mengamini ajakan itu. Sayang, semakin lama, pola konsultasinya beralih menjadi komersil.
“Saya tidak mungkin mengajari 35 mahasiswa sekaligus, itu di luar kapasitas saya. Jadi saya keluar dan mendirikan tempat konsultasi mandiri,” ungkap laki-laki paruh baya itu.
Faktor lain yang akhirnya membuat Djarot membuka rumah konsultasi, karena merasa terzolimi dengan pemahaman saat berkuliah di Unisba dulu. “Ya gimana saya tidak berpikir tidak terzolimi, uang terus diperas tapi teori komunikasi saja banyak yang belum paham,” katanya. Perbandingan uang yang dikeluarkan untuk kuliah di Unisba lebih besar, tapi mereka (baca: mahasiswa) akan lebih paham ketika datang ke tempat konsultasinya.
Salah satu api percikan lainnya yang mendorong ia membuat rumah konsultasi, adalah rasa kesal semasa ia bimbingan dengan dosen. Pasalnya, untuk bertemu dengan dosen saja terkadang ia merasa kesulitan. Tidak hanya itu, proses bimbingannya pun tidak membuat mahasiswa paham akan penelitiannya.
“Saya dendam terhadap akademisi, hanya duitnya yang diambil. Saya bangun konsultasi ini minimal teman-teman sadar terhadap dirinya, dan universitas tidak berhasil mengajarkan hal itu. Saya lakukan ini agar mahasiswa sadar, kamu ke kampus mau ngapain? Teman-teman sadar fungsi, tugas dan tanggung jawabnya. Jangan sampai kita hanya menjadi sapi perahan, terus saja diambil uangnya,” ucapnya.
Ia mengaku, jika hal itu tidak terjadi hanya pada masanya, “Jika saya tanya pada anak didik saya, mending kuliah di sini atau di Unisba? Mereka pasti menjawab mending di sini,” begitu katanya sambil tersenyum.
___
Tulisan ini adalah salah satu laporan utama dalam majalah Suara Mahasiswa edisi “Cedera Akut Calon Sarjana” yang terbit pada Januari 2017. Kami melakukan penyuntingan dan menerbitkan ulang dalam format daring.
Reporter: Ressy Rizki Utari & Wulan Yulianti
Penulis: Ressy Rizki Utari & Wulan Yulianti
Editor: Febrian Hafizh Muchtamar