Mahasiswa Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) Wyata Guna bertahan di tenda yang berada di depan BRSPDN Wyata Guna, Jalan Pajajaran, Kota Bandung pada Jumat (16/1/2020). (Muhammad Sodiq/SM)
Suaramahasiswa.info, Bandung – “Kita di sini bertahan dan berjuang tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan untuk semua generasi anak tuna netra selanjutnya,” ujar Nurhayati itu dengan lantang ketika ditemui pada Kamis (16/1) di depan Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) Wyata Guna, Jalan Pajajaran, Kota Bandung.
Nurhayati adalah salah satu mahasiswa panti netra yang memilih bertahan di trotoar depan BRSPDSN, meski keadaan panas dan dingin. Bukan tanpa alasan ia bertahan, selain berjuang untuk tempat ia tinggal dulu, Nurhayati pun merasa ketidakadilan yang diterima oleh teman-teman tunanetra.
Nurhayati tinggal di panti tersebut sejak 2010. Dulu ia merasa panti membuatnya damai dan mendapat fasilitas yang layak: tempat tinggal, makan, dan alat mandi. Bukan hanya itu, perhatian dari panti pun sangat menyenangkan kala itu. Namun setelah dirubahnya nomenklatur dari Panti Wyata Guna menjadi BRSPDSN, Nurahayati merasa tidak mendapatkan hal yang dulu ia dapatkan.
Cerita lain datang dari Muhammad Sofwan, yang bercerita sejak sekolah menengah pertama hingga perguruan tinggi, ia merasakan hal baik di panti tersebut. Awalnya ia tidak disetujui orangtuanya untuk tinggal di panti. Keadaan berubah ketika sofwan menemukan banyak teman.
Perubahan panti, kata Sofan, sudah terdengar tahun 2018. “Emang ini mendadak banget dan sepihak. Waktu terbentuknya Peraturan Kementerian Sosial (Permensos) juga enggak ada pihak terkait atau terdampak yg diundang.”
Sofwan dan kawan-kawan pun melakukan negosiasi yang disepakati sebulan lamanya. Kesepakatan berubah menjadi dua minggu, dan kembali berubah menjadi lima hari saja.
“Katanya biar valid kita bikin hitam di atas putih pada tanggal 10 Januari. Waktu di kantor, kesepakatan berubah menjadi lima hari saja, kita enggak mau pergi tanpa tanda tangan kesepakatan. Akhirnya pada 15 Januari mereka mengelurakna barang-barang kita,” ujarnya.
Beban dan kecemasan juga dirasakan orangtua Sofwan ketika mengetahui kabar ia dan teman-temannya berdiam di trotoar. Namun sofwan enggan merepotkan orangtuanya untuk datang menemuinya. “Saya dan mahasiswa mampu mengurusnya sendiri.”
Eno Herbiana juga mendengar kabar perubahan itu. Semenjak mengetahui, mahasiswa Wyata Guna asal Cianjur itu membuat perlawanan secara perlahan. Perlawanan tersebut berupa penolakan terhadap perubahan panti yang tidak sesuai.
Penanganan dari Relawan
Salah satu Relawan Bandung, Meri yang berjaga biasanya mengantarkan mahasiswa tunanetra yang sakit dari tenda menuju mobil ambulan. Ambulan yang hadir sejak Selasa (14/1) itu, berjaga selama 24 jam.
“Sakitnya cuman kayak kecapean, karena mungkin kepasanasan pas siang hari. Terus karena ini ada udara terbuka, jadi ada juga yang masuk angin,” ujarnya.
Eno menyebut sejak Selasa lalu terdapat beberapa tunanetra yang mengalami gangguan kesehatan. Namun dengan hadirnya relawan, aktivis, dinsos, hingga alumni yang sigap membantu, masalah kesehatan bisa teratasi.
Hingga berita ini terbit, mahasiswa Wyata Guna masih menetap di tenda tepat di depan balai sebagai bentuk protes.
Reporter: Febrian Hafizh Muchatamar, Ifsani Ehsan Fachrezi, Muhammad Sodiq
Penulis: Puspa Ellisa Putri
Editor: Febrian Hafizh Muchtamar