Ilustrasi Kejahatan Seksual. (Ifsani Ehsan/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba – Isu kejahatan seksual agaknya semakin saja marak terdengar di lingkungan masyarakat. Mirisnya instansi pendidikan pun turut tidak luput dari adanya kejadian ini. Seperti kasus dugaan adanya kejahatan seksual di Telkom University pada Desember tahun lalu, Agni di Universitas Gajah Mada (UGM), dan kasus-kasus lain yang terjadi di ranah pendidikan.
Dalam kasus-kasus kejahatan seksual ini sering kali terdengar istilah victim blaming yang mana dikatakan dapat memperkeruh kondisi dari korban. Mengenai victim blaming sendiri kemudian dijelaskan oleh Wakil Dekan III Fakultas Psikologi Unisba, Stephani Raihana. Menurutnya, victim blaming pada dasarnya merupakan ketidaktepatan bersikap dalam memandang kejahatan seksual.
“Korban dianggap menjadi penyebab pelaku tertarik melakukan kejahatan seksual padanya. Padahal seharusnya, penyebab terjadinya kejahatan bukan dilimpahkan pada korban tetapi pada pelaku,” ucapnya ketika diwawancarai melalui pesan daring pada Selasa (28/1).
Lanjutnya, victim blaming akan membuat dampak dari kejahatan seksual menjadi semakin buruk. Trauma dari korban akan menjadi lebih parah dan berkelanjutan. Masalah-masalah psikologis seperti depresi, gangguan emosi, kecemasan, dan sebagainya akan menjadi sulit untuk dipulihkan.
Menambahkan penjelasan tersebut, Ketua Samahita Bandung, Ressa Ria Lestari menjelaskan, victim blaming merupakan fenomena menyalahkan korban, padahal pada saat itu [setelah mengalami kekerasan] korban membutuhkan dukungan lebih.
Menurut Ressa, victim blaming juga berbahaya karena dapat menyebabkan korban tidak mau atau ragu untuk speak up atau menceritakan kejadian yang ia alami karena takut disalahkan. Pun kemudian, korban tidak mendapatkan akses pemulihan yang sesuai yang nantinya akan menyebabkan korban bisa menjadi korban lagi atau bahkan jadi pelaku, sehingga rantai kejahatan ini tidak akan putus.
“Bahaya, itu akan menjadi suatu bentuk validasi buat korban ‘memang saya yang salah’ dan akhirnya dia jadi permisif ke pelaku atau dia jadinya kayak denial kejadian kekerasan itu,” tutur Ressa ketika ditemui pada Selasa (28/1).
Penanganan kepada Korban Kejahatan Seksual
Masyarakat sering kali salah kaprah kemudian hanya berfokus kepada pelaku saja, sampai akhirnya melupakan bagaimana kondisi korban. Padahal, Ressa menyebut sosok yang harus dipedulikan pertama dalam kasus kejahatan seksual ialah korban itu sendiri. Minimal dengan menunjukkan dukungan kepada korban, bahwa dia tidak sendirian menghadapi itu, dan menunjukkan bahwa kita ada dalam kubu yang sama dengan dia.
“Minimal itu, terus mendengarkan korban, mendengarkan tanpa judge. Tidak memberikan istruksi apapun terhadap korban. Karena korban yang paling tahu apa yang dia butuhkan, yang kita bisa lakukan adalah membantu korban mencari tahu apa yang benar-benar korban butuhkan,” jelasnya.
Pun Stephani turut berpendapat, perlindungan kerahasiaan korban sangat penting dalam kejahatan seksual. Sehingga masyarakat luas diharapkan tidak mengetahui identitas korban. Namun, bila kita memang telah mengetahui atau mengenal korban (jika korban merupakan keluarga atau kerabat), maka kita perlu memberikan dukungan moril sepenuhnya agar korban tidak mengalami efek trauma yang lebih berat.
Selain korban, pelaku juga tetap perlu ditindak lanjuti. Bila kasus kejahatan seksual terjadi dalam lingkup kampus, Ressa mengatakan kebijakan yang telah dimiliki tiap kampus pun sudah cukup. Bahwasanya semua yang menjadi pelaku kriminal di dalam kampus harus dapat skorsing atau kasarnya pemutusan kerja, atau dikeluarkan dari kampus.
“Pakai aturan itu pun sudah cukup. Nah, yang belum ada adalah kampus tidak punya aturan yang bisa memastikan korban dapat haknya. Sebenarnya itu yang perlu didorong,” kata Ressa.
***
Menanggapi maraknya terjadi kasus kejahatan seksual di dalam kampus, Ressa menyarankan tiap individu untuk selalu waspada dan menyalakan alarmnya. Kita juga sangat dianjurkan untuk memahami pola-pola yang dilakukan pelaku kejahatan seksual karena hampir semua pelaku menggunakan pola yang sama.
“Juga untuk para penyintas, jangan takut untuk bersuara karena ada banyak orang yang mendukung dan jangan ragu juga untuk mencari bantuan pemulihan trauma.”
Reporter: Shella Mellinia Salsabila
Penulis: Shella Mellinia Salsabila
Editor: Febrian Hafizh Muchtamar