
STUBA Gelar Pagelaran Resital RS4
MALAM itu di awal Oktober 2013. Denting gitar akustik melantun merdu dari dalam aula Gedung Student Center (SC) Universitas Islam Bandung. Suasana gedung tampak gelap, hanya cahaya remang telepon genggam yang menjadi satu-satunya alat penerangan. Raut penasaran menggelayut di ratusan wajah yang terlihat samar menanti performance dari para seniman.
Memasuki gedung SC, sekitar pukul 19.45 malam. Lampu yang dipasang di langit gedung perlahan menyala. Takjub, ada bangunan di dalam gedung, dua lantai yang menyerupai rumah susun berdiri. Bentuknya persis menyerupai kawasan tinggal kumuh yang tak terawat di tepi perkotaan. Semisal, cemaruk dinding yang penuh coretan, halaman rumah susun yang tak pernah dibersihkan hingga sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK) yang tak memadai memberikan kesan tak biasa.
Welcome to the performance, Rumah Susun Sangat Sederhana Sekali karya Studi Teater Unisba (Stuba). Selama dua hari, tujuh seniman tampil menyajikan performance yang mengangkat permasalahan rakyat kecil yang berada di bawah garis kemiskinan.
Berkisah, Nenek Oyot yang mengenakan kebaya warna biru muda dengan corak bunga lili mengusap-usap lengannya sendiri. Dimulai dari tangan, lengan, hingga mengerutkan badan mengekspresikan keluh tentang suhu yang tak bersahabat, huh, panasnya negeri ini.
Beragam hal kerap menimbulkan cerita diantara para penghuni rumah susun. Seorang janda cantik yang banyak dikagumi lelaki, romansa cinta kakek dan nenek yang tak pernah merasakan kehadiran seorang anak, dan penghuni lainnya yang menambah ramai pertunjukan.
Satu jam lebih mereka menampilkan lakon tentang polemik di rumah susun yang mampu memicu renungan. Sifat, mimik, ekspresi gerak tubuh secara gamblang mereka tunjukan. Bertopeng kemiskinan, kemalasan, pengangguran, keamanan hingga ancaman penggusuran oleh investor asing menjadi adegan epik yang ditampilkan pada pagelaran, malam itu.
Sang Sutradara Teater, Astari Nuraini (20) menjelaskankan, konsep cerita dibangun atas pengalaman pribadi M.D. Ruhanda (penulis naskah) saat melewati salah suatu jalan di pinggiran rel kereta api, dimana terdapat sebuah rumah susun yang kondisinya memprihatinkan. “Dia (penulis naskah) mengangkat tema itu lantaran terinspirasi dari pengalamannya sendiri,” ujarnya.
Persiapan yang tidaklah lama untuk dapat membuat decak kagum ratusan pasang mata yang datang. Tiga bulan lamanya untuk mempersiapkan lakon yang begitu menjiwai karakter dalam cerita. Libur semester genap dikorbankan para senimannya guna menghasilkan sebuah pertunjukan yang berkelas.
“Hal tersulit itu bukan karena lamanya waktu persiapan, melainkan menghafal naskah skenario,” cerita Imas Rukoyah saat ditemui Suara Mahasiswa seusai pertunjukan, Selasa pekan lalu (2/10).
Imas Rukoyah, perempuan kelahiran Bandung, 19 tahun silam yang memerankan tokoh Nenek Oyot di teater itu merasa bangga telah menampilkan sebuah pertunjukan yang mampu memberikan hiburan bagi penonton. (Sugiharto dan Luthfi Apriliasari/SM)