Berjalan di tengah puing reruntuhan Suriah. Konon, mahasiwa yang berasal dari Indonesia pernah terjebak; diantara konflik dua perang saudara. (Net)
Suaramahasiswa.info, Suriah – Malam jatuh di langit Damaskus. Sungguh, kota inilah yang membuat pria ini jatuh hati, meski dahulu sempat tak terbesit untuk menginjak kota ini. Pria itu bernama Ja’far Muttaqin, seorang mahasiswa Indonesia yang tengah menimba ilmu di salah satu negeri konflik, Suriah. “Yang ada di pikiran itu kuliah di Mesir, Madinah, Yaman, Sudan, Jordan, tapi ternyata jodohnya sama Damaskus,” ia mengenang.
Sejak kecil Ja’far memang tertarik untuk berkuliah di Timur Tengah. Konon, ia terinspirasi dari salah satu saudaranya yang berangkat ke Mesir. Selain itu pria yang bercita-cita menjadi “guru ngaji” ini memiliki fondasi keluarga yang religius. “Saya tidak langsung kuliah di sana. Setelah pesantren, saya kuliah lebih dulu di LIPIA sambil cari-cari link buat sekolah di sana.”
Ja’far berangkat sebelum konflik Suriah membara. Konflik di Suriah sendiri, menurutnya berasal dari kota-kota kecil luar Damaskus. Ia mengaku bahwa sebelumnya Damaskus adalah kota yang damai, masyarakatnya sangat ramah, dan tidak pernah merasa was-was bila pulang tengah malam.
“Ketika mulai konflik, barulah mulai ada himbauan-himbauan ‘jangan keluar rumah kecuali mendesak,” Ja’far bercerita. “Awalnya kita juga tidak menanggapi himbauan tersebut karena konfliknya terjadi di kota-kota kecil.”
Gelombang konflik pun menjalar ke kawasan Damaskus; perlahan terdengar demo-demo singkat di dalam kota. Meski seperti itu, Ja’far tidak merasa terganggu karena jaraknya jauh dari kawasan kampus. Konflik pun dirasa mulai mengancam ketika Ramadhan tahun 2011. “Sudah mulai kontak senjata. Beberapa kali pihak oposisi bikin ulah di perkampungan warga yang banyak mahasiswa asingnya, sehingga mengundang militer dan berperang di daerah tersebut.”
Meski dalam kondisi seperti itu, Ja’far bersama mahasiswa Indonesia lainnya tetap berkuliah seperti biasa. Ia mengatakan bahwa tidak ada bedanya belajar masa sebelum konflik dan masa ketika konflik. “Alhamdulillah, konflik tidak masuk ke kampus-kampus. Palingan yang sedikit berubah adalah pengajian di masjid-masjid. Jadi dibatasi.”
Pulang ke Indonesia
Kembali mengenang awal tahun 2012 di mana konflik Suriah bermula. Suasana terbilang mencekam; tank-tank melintas di depan rumah; bom bertebar di mana-mana. Damaskus yang damai, kini menjadi siaga satu. Sungguh situasi tersebut membuat setiap orang gelisah, termasuk pelajar Indonesia yang berjumlah sedikit di Suriah.
Ginan Aulia Rahman adalah salah satunya. Di masa itu, ia tengah nyantri di salah satu pesantren Damaskus. Telah dua tahun lamanya ia berada di Suriah, melahap berbagai ilmu Islam dengan metode yang cukup khas ketimbang sekolah Indonesia. “Di sana banyak menghafal, karena agama Islam bukan agama opini. Harus bener-bener sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah,” jelas Ginan.
Namun, studinya terpaksa tersendat ketika revolusi Suriah melanda; revolusi yang beberapa waktu pula melanda Tunisia, Mesir dan Libya. Kala itu, KBRI Damaskus menyadari situasi genting tersebut dan memberikan tiket gratis pulang ke Indonesia. Tak mau disia-siakan, Ginan pun mengambil kesempatan tersebut untuk pulang dari zona petaka.
“Konflik Syiria semuanya membingungkan dan tidak masuk akal,” Ginan berkata. “Banyak peneliti yang bilang, perang tersebut adalah pertarungan antara Sunni dan Syiah, tapi saya tetep skeptis karena banyak negara yang numpang perang di sana seperti Rusia dan Amerika.”
Ia pun berpandangan bahwa tren negeri Timur Tengah ini, ditengarai oleh revolusi Arab Spring yang sempat melanda Tunisia, Mesir dan Libya. “Karena barat memegang demokrasi, kan. Jadi negara yang gak pake demokrasi dianggap kemunduran. Padahal kan, belum tentu.”
Tercatat, Bashar al-Assad telah menjabat sebagai pemimpin negara selama sepuluh tahun. Hal tersebut belum terhitung dengan masa dinasti ayahnya, memimpin selama 30 tahun. “Seperti Khusni Mubarak dan Muammar Gaddaf yang turun beberapa waktu lalu. Ketika mereka mimpin, dianggap masih ‘musim dingin’. Setelah turun, baru ‘musim semi’,” tuturnya.
Kini, Ginan telah menjadi mahasiswa semester akhir Universitas Indonesia. Pengalaman mencicipi tanah asing yang kini menjadi zona petaka, membawa pada romantisme yang malahan manis dikenang. “Dahulu oleh ustad-ustad, pelajar Indonesia selalu diremehkan karena sering becanda. Eh ternyata, yang menguasai ranking tiga besarnya orang Indonesia semua.”
Kacau di Rumah Sendiri
Waktu telah mencatat, zaman telah berubah. Lembaran-lembaran perang telah berkecamuk, mengacaukan semua tatanan negeri yang telah dibangun. “Kami sempat mengalami beberapa kali gak bisa keluar rumah karena ada kontak senjata, antara oposisi dan militer,” jelas Ja’far.
Ja’far pun berpandangan bahwa ISIS adalah biang keladi dari konflik yang terjadi di Suriah kini. “Karena pemahaman mereka yang salah terhadap daulah Islamiyyah,” tukasnya. “Tidak hanya ISIS, semua kelompok yang satu pemahaman dengan mereka adalah penyebab konflik yang terjadi di negara-negara Arab kini.”
Senada dengan hal tersebut, Ginan mengatakan bahwa ISIS bukanlah bagian dari agama Islam. Ia mengatakan bahwa terorisme tidak punya agama, dan tidak merepresentasikan Islam. “Waktu saya di Suriah, saya gak pernah dengar tentang ISIS. Kalo gak salah ISIS baru rame pas tahun 2014, lewat video yang memenggal kepala orang di salah satu situs. Banyak juga pengamat yang ngomong kalo ISIS adalah produk internet.”
“Meski begitu, kita warga asing bukanlah target dari konflik tersebut. Posisi kita netral dan tidak mendukung salah satu pihak.” Ja’far menutup kisah. “Jadi yang paling ditakutkan adalah peluru nyasar, terkepung di daerah konflik, atau bom di tempat umum. Solusinya adalah tidak keluar rumah, kecuali ke kampus dan urusan mendesak saja.” (Hasbi Ilman/SM)