Seluruh elemen Jurnalistik Unisba yang tergabung dalam acara api unggun, tengah membaca sumpah dengan lantang di Ciwidey, Sabtu (24/10) kemarin. (Hasbi Ilman/SM)
“Kedua kelompok garang ini nampak geram. Dengan kulit hitam malam, giginya bergedik, mata tajam bersenggama dengan alis yang mengerut di nada E minor: juga Kpinga yang selalu siap membacok leher di tangan. Mereka saling bertatapan. Nampak beberapa bibir bertindik menenggak arak daerahnya, demi sensasi penyembelihan semakin kentara. Sayang beribu sayang, adegan klimaks tersebut tak dapat kita saksikan: Sang Kepala Suku, pada akhirnya memilih diplomasi sebagai jalan keluarnya, mengadakan pertemuan untuk menyelesaikan semua masalah, dan menamakannya ‘Jambore’.”
Suaramahasiswa.info, Unisba – “Begitu Bi, asal muasal Jambore dicetuskan,” ujar Ridlo Abdulrahman, ketua pelaksana acara kaderisasi akbar Jurnalistik ini kepada saya yang cupu ini. Wawancara ini cukup awkward dirasa, karena saya tidak pernah mewawancarai saudara sepupu sebelumnya. Apalagi, kami pernah bersama dalam satu almamater selama enam tahun dan sekarang harus menambah masa jihad bersama lagi.
Siang itu begitu panas hingga menukar terik matahari dengan keringat. Parkiran kampus dan rindang pohon memang tak pernah menggambarkan slogan ‘green campus’ yang selalu digembor oleh tuan-tuanku yang duduk di singgasana. Dalam kucuran keringat, ia menambahkan bahwa Jambore Jurnalistik pada dasarnya merupakan ‘perkumpulan’ yang berkumpul untuk memecahkan masalah yang ada. “Semua elemen, baik itu mahasiswa, alumni, atau dosen jurnalistik. Ajang kaderisasi, ajang silaturahmi juga,”.
Seketika pula, rekan kami yang juga merupakan panitia Jambore Jurnalistik 2015, Rangga, turut menghampiri obrolan ringan kami sembari makan siang.
“Jambore ini juga sengaja memilih tempat di daerah Ciwidey karena biasanya bergilir. Kemarin kan, di Lembang. Tahun 2012 tempatnya di Rahong Pangalengan,” ujarnya sembari memindahkan posisi duduk, memaksa celananya mencium paving block yang penuh debu. “Jadi biasanya tiap tahun ganti-ganti. Kadang di daerah atas Bandung, terus tahun depannya giliran yang bawah.”
Sejumlah rangkaian acara pun dilaksanakan untuk menopang kaderisasi akbar ini dan mulai difokuskan setelah Stadium General Jurnalistik dihelat. “Terus beres itu, kita membuka open recruitment dan alhamdulillah yang ikut ada 48 orang,” tambah pria berusia 20 tahun ini.
Tema yang diambil pun cukup post-mo: “The New Journalism”. Sangat kontemporer namun cukup lawas karena konvergensi telah lama bergaung bila diusung kembali di tahun 2015. “Pengambilan temanya juga hampir sama dengan acara-acara sebelumnya. Jurnalisme kekinian. Dan diharapkan setelah pelaksanaan Jambore ini, angkatan 2014 menemukan sebuah keluarga baru. Ke kita sebagai kakak, ke alumni sebagai kakak pula, dan ke dosen sebagai orang tua,” ujar pria yang dibalut kacamata setebal enam minus.
Sejenak ketika obrolan ringan tengah terjadi, tiba-tiba datanglah pria kekar nan besar dengan kemeja hitam yang membuat tampilannya semakin mengerikan: Namanya Harris, mahasiswa Planologi 2013. Ia adalah teman Saya dan Ridlo ketika masih nyantri dulu, dan ia menyangka bahwa Rangga adalah salah satu teman yang pernah mondok disana. Oh iya sekedar informasi, asalnya Harris hendak menjahili Rangga dari belakang karena ‘menyangka’ yang padahal ‘salah orang’. Haha. Untunglah Perang Dunia tiga tidak dipercepat penabuhannya di Unisba. Kami pun tertawa.
“Terus uniknya ketika peserta tracking, ada dua kelompok yang nyasar. Yang pertama mah cepet ditemuin. Nah yang kelompok 3 ini, nyasarnya jauh banget. Untung selama dua jam langsung ketemu,” Lanjutnya. “Asalnya kalo sampe jam 11 malam belum ketemu, mau dievakuasi semua. Gara-gara salah baca tanda.”
Beberapa jam setelahnya, saya meminta klarifikasi kepada salah satu peserta yang turut terkena ‘tragedi’ tersebut: Turi Pratiwi, dan ia sempat tidak menyadari bahwa mereka jalan yang mereka tuju salah. “Ya jalan terus we. Kejadiannya juga pas sebelum masuk pos satu.”
Pasir Jambu Ciwidey, betapa tidak, merupakan tempat yang seksi untuk dikunjungi oleh wisatawan dengan catatan: akses menuju tempatnya perlu untuk diperbaiki. Manja memang. Namun hemat saya, tempat itu kurang direkomendasikan bagi para sombongwan dan sombongwati untuk memamerkan kendaraannya, bila pulang tak mau lecet-lecet.
Dari sekian banyak peserta, tentu beberapa diantaranya ada yang ikut tumbang. Lima orang sakit, empat kedinginan, dan satu keseleo, tukas Ridlo di perhelatan kemarin. Cukup dimafhumi bahwa bila rembulan semakin kokoh, maka semakin perlu jaket untuk menangkal kejinya hawa dingin disana. Apalagi, ketika dan setelah ‘pengembaraan’dimulai dan petualangan berbicara. (Hasbi I. Hakim/SM)