Seorang mahasiswa tengah membaca berita mengenai teror yang dialami Novel Baswedan Ketua tim dalam penyelidikan korupsi Elektronik Kartu Penduduk (e-KTP) yang terjadi pada pada Selasa (11/04/2017) lalu. Eka mengungkapkan bahwa seharusnya penegak hukum bukan menjadi ajang tangan dari penguasa, jangan menjadi sebuah robot penguasa dan menjadi kekuatan politik yang sangat mendominasi.
Suaramahasiswa.info, Unisba – Pada Selasa (11/04) pagi publik Indonesia dikejutkan dengan kabar dari Novel Baswedan Ketua tim penyidik kasus korupsi Elektronik Kartu Penduduk (e-KTP) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disiram air keras selepas sholat subuh di Masjid Al-Ikhsan yang berlokasi di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kasus tersebut diduga dilakukan oleh dua orang pengendara motor yang tidak dikenal, dan sekarang Novel sedang menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di Singapur. Dosen hukum pidana Universitas Islam Bandung (Unisba) Eka Juarsa pun menaggapi kasus ini saat ditemui di ruang Litigasi Fakultas Hukum pada Kamis (13/04).
“Kasus ini menjadi konsekuensi logis bagi Novel selaku ketua tim penyelidik dalam kasus tersebut. Kejadian ini juga merupakan ancaman bagi tim yang akan mengusut kasus e-KTP karena kasus tersebut melibatkan beberapa orang yang di duga terlibat. Seperti Calon Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Basuki Tjahya Purnama (Ahok), Setya Novanto dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lainnya,” ujar Eka.
Eka mengungkapkan bahwa seharusnya penegak hukum itu bukan ajang tangan dari penguasa ataupun menjadi sebuah robot penguasa dan didominasi dengan kekuatan politik. “Penegak hukum itu harus bersifat netral. Ini juga bukan yang pertama teror terhadap KPK. Setelah kriminalisasi yang dialami ketua-ketua sebelumnya dan terkahir Bambang Wijayanto senior saya,” tuturnya.
Eka juga menerangkan bahwa kasus ini jelas ada hukumnya dan bisa dikaitkan pada percobaan pembunuhan namun, ia merasa pesimis kasus ini akan selesai. Pelaku akan terjerat pasal 340 KUHP dengan ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun. “ Kita tunggu aja prosesnya seperti apa mudah-mudahan bisa dan pelakunya bisa diketahui otak dari kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.”
Kasus ini juga ditanggapi mahasiswa Fakultas Hukum Unisba Abdila Shandi. Ia merasa kasus ini termasuk kasus yang menghalang-halangi kegiatan penyelidikan KPK yang membuat penyelidik menjadi takut. Harap Abdila kasus yang terjadi pada Novel Baswedan harus diproses oleh penegak hukum sampai selesai. (Intan Radhialloh/SM)