
Suaramahasiswa.info – Ayunan sapu lidi yang digerakkan Ruchiyat guna membersihkan sisa rerumputan mengalun pelan di kandang sapi perah miliknya, pagi itu sekitar pukul 06.45 WIB. Aroma gas amoniak yang tercium menyengat seolah telah menjadi parfum tersendiri bagi lelaki yang telah belajar berbisnis sapi perah dari ayahnya sejak 1982 silam itu.
“Sapi-sapi ini sudah saya ibaratkan seperti anak sendiri, makanya saya harus mengurusi mereka dengan baik,” ujar Ruchiyat, pada Ahad pekan lalu (4/5).
Lelaki yang pernah mengenyam pendidikan teknik mesin ini tahu betul tentang seluk beluk hewan penghasil susu tersebut. Salah satunya, ia tahu bagaimana cara agar sapi perahnya tetap menghasilkan susu berkualitas baik setiap hari.
Menurutnya, kualitas susu dipengaruhi oleh kondisi sapi itu sendiri, pakan yang diberikan, kenyamanan kandang, dan teknik pemerahan. Sapi yang diperah secara manual akan menghasilkan susu lebih baik ketimbang sapi yang diperah melalui mesin. “Sapi juga makhluk hidup, mereka punya kedekatan emosional,” guyon lelaki berumur 48 tahun itu.
Setiap hari seekor sapi mampu menghasilkan antara 20 hingga 25 liter susu segar yang diperoleh dari dua kali pemerahan, yakni sekitar pukul 05.00 pagi dan 02.00 siang. Saat ini, harga standar satu liter susu jika dijual di Tempat Pengumpulan Susu (TPS) di wilayah Koperasi Bandung Selatan (KPBS) dibandrol Rp 4.000 per liter.
“Di TPS ada juga bonus dan penalti. Jadi, kalau kualitas susu peternak itu baik maka ia akan dihadiahi bonus, bahkan harga susunya bisa mencapai Rp 4.600 per liter. Tetapi, kalau kualitas susunya kurang baik, maka ia akan dikenakan penalti—harga susu bisa jatuh hingga Rp 3.500 per liter,” papar lelaki yang telah memiliki dua anak itu.
Salah satu cara mengetahui kualitas susu adalah dengan mengukur kadar air yang ada di dalam susu, menggunakan alat pengukur khusus yang bentuknya menyerupai pelampung mata pancing. Semakin banyak kadar air dalam susu—pelampung akan tenggelam—yang menandakan kualitas susu kurang baik.
“Selain mengukur kadar air, jumlah bakteri menguntungkan yang ada pada susu juga diukur. Jika jumlah bakteri menguntungkan itu lebih dari satu juta dalam satu liter susu, maka susu itu termasuk dalam kualitas baik,” ujar lelaki yang menjabat sebagai Ketua Kelompok Peternak di Kecamatan Pangalengan itu.
Ruchiyat menjelaskan, musuh terbesar bagi para peternak sapi perah saat ini adalah penyakit mastitis. Penyakit itu menyebabkan radang pada ambing sapi lantaran terserang bakteri berjenis Staphylococcus Aereus dan Streptococcus agalactiae yang banyak terdapat pada tanah dan kotoran sapi.
Jika sapi selesai diperah, Ruchiyat akan tetap menyuruh mesin pencetak uangnya itu berdiri selama beberapa waktu guna menghindari masuknya bakteri tersebut ke ambing mereka. Dalam ilmu kedokteran hewan, proses penyerangan mastitis dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar susu melalui lubang puting.
“Jika selesai diperah keadaan puting sapi masih tetap terbuka, jadi sapi jangan dulu disuruh duduk agar bakteri tidak masuk. Nah, kalau penyakit mastitis sudah akut, maka air susu tidak akan keluar. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian ekonomi bagi peternak. Satunya-satunya cara menghilangkan mastitis adalah dengan membawa sapi terjangkit itu ke penjagal,” ujarnya.
Saat ini, KPBS memiliki 6000 anggota tetap dan terdapat 36 TPS yang tersebar di tiga kecamatan di wilayah Kabupaten Bandung, yakni Kecamatan Pacet, Kecamatan Kertasari, dan Kecamatan Pangalengan.
Sejumlah kendala yang mengganggu para peternak sapi perah di KPBS, di antaranya mahalnya harga konsentrat—vitamin yang mampu memperbanyak produksi susu. Hal itu terjadi lantaran sejumlah perusahaan terigu nasional selalu mengekspor limbah dari ampas gandum mereka ke luar negeri. Akibatnya, pasokan untuk membuat konsentrat di pasaran minim sehingga menyebabkan harga konsentrat melambung.
“Padahal ampas terigu itu merupakan salah satu bahan baku utama untuk pembuatan konsentrat bagi sapi perah. Sekarang harga konsentrat mahal—ada yang mencapai harga Rp 3.400 per kilogram—untuk kualitas baik. Tiga ekor sapi mampu menghabiskan sekitar 25 kilogram konsentrat dalam sehari,” keluhnya.
Tak hanya mahalnya konsentrat, program pemerintah dalam menetapkan swasembada daging sapi secara besar-besaran pada 2010 lalu, juga menjadi kendala bagi para peternak sapi perah di Kabupaten Bandung. Bukan tanpa alasan jika populasi sapi perah di tahun itu menukik tajam, penyebabnya lantaran peternak tergiur rayuan manis penjagal yang membeli sapi mereka dengan harga tinggi.
“Seekor sapi yang beratnya mencapai 200 kilogram, bisa dihargai Rp 18 juta oleh para penjagal. Kala itu, banyak peternak yang tergiur dan akhirnya menjual sapi mereka. Akibatnya, populasi sapi perah di KPBS mengalami penurunan, bahkan hingga sekarang,” kenangnya.
Dengan beternak sapi Ruchiyat mampu menyekolahkan kedua anaknya—anak pertamanya telah lulus dari perguruan tinggi dan telah bekerja di perusahaan peternakan unggas, sedangkan anak keduanya kini masih duduk di bangku kelas akhir di salah satu SMP di Kecamatan Pangalengan.
Seekor sapi yang produktif mampu memberikan penghasilan bersih bagi Ruchiyat hingga Rp 1,5 juta per bulan. “Dulu saya pernah punya 17 ekor sapi, tapi sekarang hanya ada 5 ekor saja lantaran kalau terlalu banyak susah mengurusinya,” tutup lelaki yang lahir di kecamatan penghasil susu, pada 1966 silam itu. (Sugiharto Purnama/SM)