Ilustrasi Renjana. (Rizqon & Iqbal/SM)
Renjana, apakah itu hanyalah kata? Entahlah. Renjana, tertuliskah itu dihatiku sekarang? Entahlah. Tetapi malam ini kucoba tuk mengamini dan memahaminya. Perasaan yang begitu abstrak, sulit kujelaskan. Kurasa rejana terukir kokoh dihati dan pikiranku.
Kau mungkin menebak ceritaku malam ini mengenai apa. Tapi, kusarankan jangan bertanya siapa temanku. Sebab, ku tak sudi menganggap mereka ada. Dapatkah kau terima? Cuih! Mereka hanya bisa mencibirku dari belakang. Utamanya, jangan tanya siapa suamiku. Naiklah darahku. Sudahlah, biar aku yang merasakan ini. Maaf malam ini penuh emosi.
Bersama tikus yang lalu lalang aku bersandar di sela-sela besi. Di tempat inilah perut ku bisa terisi setiap harinya. Di tempat inilah emosiku begitu kuat, merubahku menjadi melankolis. Di tempat inilah setiap malamnya pikiranku melayang. Anakku, Renjana aku padanya.
Orang memanggilku Rina, Tapi aku lebih senang kau panggil Karina. Renjana, masa di mana petak kecil menjadi saksi kehidupan indahku. Bermesraan dengan mas Raka dan Rara anakku. Ah… ku harap waktu hanya berputar pada saat keharmonisan keluarga kami saja kala itu.
Sepia melukiskan panorama yang begitu indah November lalu, tergambar jelas malam ini di benakku. Hari itu genap setahun usia Rara. Mas Raka selalu melakukan hal yang romantis, sepulangnya kerja ia selalu membawakan hadiah bagi kami. Hidup terasa indah dengan segala kesederhanaan, walau tinggal di sebuah petak dengan empat ruang yakni kamar kami, dapur, WC dan ruang tamu yang biasa saja.
“Assalamualaikum, Nih… mas bawa sepatu baru buat Rara,” kata mas Raka padaku, sambil menghampiri dan mengecup keningku.
“Waalaikumsalam, mas,” kubalas dengan senyum menggoda, sambil menyodorkan segelas air putih yang selalu kusiapkan ketika mas Raka pulang.
Perayaan ulang tahun yang sangat mengesankan, ya… walaupun kurasa Rara tidak mengerti, tapi aku senang sekali dengan melihat kecerian keluarga kami. Dimulai pukul 9 hingga 11 malam menjadi saksi keharmonisan keluarga kami. Renjana aku pada Rara ketika Mas Raka menggendongnya bagai Supergirl, ketika kita menghabiskan waktu menonton Tv bersama, memeluk Rara bersama di ranjang. Sungguh, Renjana aku.
Ya… sudah, puas aku menggali memori dan perasaanku, kini waktunya tidur. Di atas kasur terbaringlah aku, wanita sepertiga abad ini dengan menitihkan air mata. Baring sana baring sini.
Celaka!
“Ya tuhan… tolong jangan biarkan ingatan ini muncul, arrrggghh!!“ teriak aku.
Entah mengapa pikiranku terus menggali semua memori itu. Memori yang ku harap hilang, berharap setiap helai rambut yang ku cabut, memori itu hilang. Pada kenyataannya. Tidak, sekali-kali tidak. Seperempat rambut di kepala habis tercabut paksa, tapi memori sialan itu tak hilang. Aku gila. Tidak. Aku hanya berharap lelaki biadab yang pernah menjadi suamiku itu hilang.
“Pergi!! Pergi!” kesal ku, sambil meremas rambut dengan kuat.
“Tolong, jangan hadir lagi, kamu bukan mas Raka yang kucintai kamu bajingan, kamu neraka,”
Sepuluh menit ku coba untuk terlelap dalam kemeriahan kasur ini, tapi tak kuasa. Sepuluh menit selanjutnya aku terus mencoba hingga berserakannya beberapa helai rambut rontok lagi di atas bantal. Aku kalah, pasrah.
Otak ku terus bercerita, otomatis menggali memori yang berkeliaran begitu cepat. Dimulai dari kehilangan buah hati tercinta. Aku sangat menyesal kala itu tidak dapat melindungi anak empat tahun itu saat bermain di luar, aku terlalu sibuk untuk mengurusi urusanku. Rara jatuh, tersungkur ke dalam sumur di belakang rumah kami. Hal itu membuat ku gila. Rara mengambang.
Hari demi hari hingga seminggu telah berlalu, ternyata mas Raka terbelit hutang. Setiap malam ia bermain judi.
“De, mas mau jual cincin nikah kita, mas kebelit hutang,”
“Astagfirullah mas, kenapa?,”
“Diem aja deh, atau mas gadai ini rumah, aku kalah judi”
“Astagfirullah,”
“Udah sini,” sambil mendorongku dengan kasar sampai terbaring diatas kasur, setelah mengambil paksa cincin, ia hilang ditelan pintu.
Aku kalah. Hanya air mata malam itu. Esok hari, kusiapkan makan dari hasil judi mas Raka semalam, ia bilang dapat untung sedikit.
“Mas mau jual perabotan juga,”
“Mas,” teriakku dengan emosi yang sulit kukendalikan.
“Malem kamu ikut mas ya, kita makan, pake baju yang cantik,”
“Apa? Mas baru jual mas kawin kita, sekarang mau ngajak aku makan? Mas gilak,” entah aku bicara apa, tapi saat itu aku sangat kesal.
Lagi-lagi, aku kalah. Malamnya mas Raka menampar dan kami pergi ke tempat yang tidak pernah kusambangi.
“Astaghfirullah, Jadi ini alasan mas suruh aku pake baju seksi, aku gak mau mas, tolong udah, aku pun sedih, kematian anak kita. Kamu Neraka, ga ngertiin perasaan ku juga hah!,”
“Udah masuk!” tarik mas Raka yang saat itu ku anggap ia adalah mas Neraka. Ia neraka dunia bagiku.
Di dalam aku bertemu dengan seorang yang tak pernah ku kenal. Berpakaian rapih, siapa dia? Bingungku.
“Ikut dia!” paksanya sambil menodongkan pisau dapur yang ia keluarkan dari tas kecil yang ia gendong.
Apa daya ku selain menitihkan air mata? Teriak? Kuharap bisa, tapi tidak.
“Udah mas jangan kasar-kasar ke istri sendiri, baik-baik ya sayang,” ucap pria yang merangkulku saat itu.
Sayang? Mas Raka jual aku? Aku tak bisa meronta, terus menitihkan air mata, hingga akhirnya aku sampai ke sebuah kamar. Aku melihat ke sekeliling hanya terdapat kasur dan meja yang di atasnya terdapat satu botol yang akhirnya ku tahu itu bir.
“Mas Raka itu jual kamu sayang, tolong puasin aku ya,” dia berlaku lembut, tapi aku terus berusaha mendorong. Tak terima aku dipanggil ‘sayang’ oleh pria brengsek.
“Ayolah Rina, aku udah bayar kamu banyak, hutang si Raka itu udah aku bayar,” gerakannya berlanjut kasar dengan melemparku ke atas kasur.
Gelap, aku ingin menyelamatkan diriku dari neraka ini. Merangkak aku menjauh dengan sekuat tenaga dari tangkapan pria brengsek itu, hingga aku terpojok di dinding.
“Heh perek! puasin gua bisa gak sih lu,” sambil merangkak menyusulku seperti singa yang akan menerkam mangsanya. Ia menelusuri kakiku, aku takut.
Menoleh ke arah meja, dengan cepat ku ambil botol dan ku pecahkan tepat di kepalanya. Ku ambil pecahan itu lalu ku tusuk ubun-ubun pria brengsek itu sekuat tenaga. Aku takut.
Oleh: Iqbal Yusra Karim