Ilustrasi Badan Eksekutif Mahasiswa Unisba (BEMU) yang tengah mengkaji kasus mural 404 not found. (Fais Azhar/SM)
Oleh Hafizh Abdurrauf Ismail
Keadaan demokrasi sekarang sepertinya sudah tak lagi stabil, dilihat dari beberapa tahun belakangan ini banyak terjadi ketidakadilan antara pemerintah kepada rakyatnya. Hal ini diperkuat dari sikap para aparat yang semakin ganas terhadap masyarakat. Khususnya pada mereka yang mengeluarkan aspirasi serta kritiknya terhadap pemerintah, baik dari kalangan mahasiswa ataupun rakyat biasa.
Menanggapi pernyataan para penegak hukum mengenai presiden merupakan sebuah lambang negara, dari kacamata mahasiswa, itu tidak sesuai dengan apa yang tercantum di Bab XV UUD 1945, dalam Pasal 36A “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.” Pemerintah terkesan berlawanan dengan perkataan Jokowi dalam pidato kenegaraan rapat tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), menyoal budaya demokrasi dan rakyatnya yang aktif berpartisipasi dalam memberikan kritik.
Dalam isu ini pernyataan sikap secara resmi dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Bandung (BEMU) masih dalam tahap proses pengkajian dan perencanaan. Namun, staff Kementrian Sosial dan Politik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Bandung (Kemensospol BEMU) Bintang M Irham menanggapi bahwa kritikan dalam bentuk seni mural merupakan bentuk kekecewaan masyarakat terhadap kinerja Presiden Joko Widodo. Terkait persoalan bahwa Presiden merupakan lambang negara, hal itu merupakan kesalahan karena Presiden merupakan lambang kekuasaan.
Bintang juga menambahkan bahwa perdebatan yang akan terjadi adalah ketika aparat penegak hukum bereaksi secara berlebihan terhadap kritikan lewat mural ataupun bentuk aspirasi lainnya. Maka Presiden dan kroni-kroninya dinilai post power syndrom atau anti kritik karena aspirasi lewat mural dilindungi oleh (UUD 1945 Pasal 28E) tentang kebebasan berekspresi.
Bisa disimpulkan bahwa belum ada pernyataan resmi dari pihak Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Bandung (BEM Unisba) terhadap isu ini, mereka masih dalam tahap proses persiapan, perencanaan, dan pengkajian. Tidak seperti biasanya yang dimana selalu terdepan mengkaji isu-isu seperti ini, mungkinkah kurangnya komunikasi internal Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Bandung (BEM Unisba) atau juga terhambatnya komunikasi antar Mensospol dan Menlu, “kalau untuk pernyataan sikap itu kami dari sospol ingin mengajak dl menlu nya kang agar bisa menyatakan sikap” ujar Bintang saat ditanya terkait pernyataan sikap secara resmi dari internal BEM Unisba.
Dari sisi positivisme bisa dibilang tidak ada landasan hukum yang mendasari pembungkaman aspirasi. Dilansir dari jabarprov.go.id. Penyampaian aspirasi atau kritikan masyarakat terhadap pemerintah dilindungi oleh undang-undang seperti dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 dalam Pasal 18 Ayat 1 dan 2 disebutkan, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan”.
Disitu jelas tercantum “…menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum…” di mana sebuah bentuk unjuk rasa, protes, kritikan, dan harapan masyarakat kepada pemerintah tersebut dilindungi oleh undang-undang dan pembungkaman dari penegak hukum dan penguasa merupakan sebuah tindak pidana yang fatal. Atau bisa disebut juga perlakuan sewenang-wenangan kekuasaan. Segala bentuk penyampaian pendapat bisa melalui segala cara baik tertulis, bersuara menyampaikan aspirasi, dan termasuk lewat karya seni.
Terkait mural dan grafiti yang berisi kritik terhadap pemerintah merupakan bentuk ekspresi dan aspirasi yang disampaikan lewat seni dan dijamin serta dilindungi Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil yang telah diratifikasi melalui UU No.12 tahun 2005, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, sehingga tidak dapat dibatasi dan dihapus secara serampangan. Oleh karena itu, penghapusan dan ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat pembuat mural dan grafiti adalah tindakan represi dan pembungkaman terhadap ekspresi dan aspirasi masyarakat.
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Dakwah angkatan 2020