Foto ilustrasi.
Oleh: Kevin Maulana
“Duhhh aku belum ini, belum itu, teman-teman udah pada bisa,” seringkali kalimat ini dilantunkan oleh remaja yang tengah mengeyam perkuliahan.
Banyaknya fenomena sosial, tanpa disadari, kalimat diatas merujuk pada sebuah tuntutan yang menghasilkan suatu kebingungan untuk melakukan tindakan. Kebingungan perlu melakukan sesuatu, sering menjadi kepenatan para pelajar. Pasalnya, rentetan urusan kuliah membuat mahasiswa menjadi lupa terhadap yang dia sukai.
Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan sebuah fenomena yang biasanya dialami oleh remaja rentan usia 20 hingga 30 tahun. Fenomena ini populer dengan sebutan Quarter Life Crisis, merupakan sebuah fenomena yang berkembang di masyarakat Amerika. Fase ini terdiri dari; stress, ketidakstabilan dan perubahan besar dalam hidup. Quarter Life Crisis terjadi ketika banyak orang dewasa muda merasa ragu tentang masa depan mereka dan merasa terjebaq di dalam pilihan hidup. (Thorspecken 2005:121).
Menurut Dr Olive Ribonson, Quarter Life Crisis memiliki empat fase; Locked In, Separation/Time-out, Exploration, dan Developing New Commitment.
Pada fase Locked In akan ditandai dengan merasa terjerat oleh suatu komitmen. Fase tersebut merupakan rangkaian sistem tuntutan sosial dan tuntutan karir sehingga masyarakat akan terpakut menjalani sistem ini. Berlanjut pada fase Separation merupakan adanya perpisahan terhadap komitmen yang telah menuntut seseorang. Fase ini mencirikan proses menjauhi diri secara mental dan fisik dari komitmen sebelumnya. Biasanya, orang cenderung berbohong untuk menghindari komitmen yang tengah dibuatnya.
Selanjutnya fase Exploration. Pada fase ini seseorang membuat skema komitmen yang baru, atau menghentikan komitmen yang sebelumnya. Pada fase akhir, Developing New Commitment seseorang akan lebih fokus pada komitmen barrunta. Biasanya disesuaikan akan minat dan nilai komitmen yang dirasa cocok dengan dirinya.
Film Laggies (2014) menggambarkan Quarter Life Crisis. Dikisahkan tokoh utama, Megan mendapatkan tekanan oleh keluarganya untuk mencari sebuah pekerjaan serta keresahan mendalam akan masa depannya. Dalam kasus ini, Megan mengambil tindakan untuk mencari lingkungan baru, di mana lingkungan pertemanan ini sangat terisolasi dari lingkungan lamanya. Setelah mendapatkan lingkungan baru, dia melakukan aktivitas baru dalam lingkungan tersebut yang lebih bernilai bagi hidupnya.
Quarter Life Crisis memang cukup merepotkan, terlebih tidak bisa dihindari. Lantas bagaimana solusinya? Terdapat sebuah terapi khusus yang dipopulerkan oleh Nichols, Solution Focused Therapy. Pada dasarnya terapi ini adalah kepercayaan bahwa tiap individu memilliki dasar kemampuan untuk bertingkah laku secara efektif dalam menyelesaikan masalahnya. Namun, seringkali anggapan negatif muncul sehingga kemampuan ini tidak timbul.
Dalam terapi ini, tiap individu dituntut untuk menyadari akan kelebihan yang ia miliki agar terokupasi oleh kegagalan yang dialaminya. Dalam mengubah cara pandang ke arah solusi, terapi ini akan membangun nuansa terapi yang lebih posistif, penuh harapan dan berfokus pada masa depan (Nichols, 2010).
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) prodi Management angkatan 2016.