
Oleh: Bobby Agung Prasetyo*
Kita mengenal Munir Said Thalib sebagai pejuang aktivis HAM. Sebagai Dewan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), ia turut memperjuangkan para aktivis yang raib di peristiwa Mei ’98. Pada 7 September 2004, ia dibunuh dengan cara diberi racun arsenik di pesawat dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda, untuk melanjutkan studi S2-nya di sana. Munir dinyatakan meninggal sekitar dua jam kemudian, empat puluh ribu kaki di atas tanah Rumania, dihantarkan oleh Surat Yasin yang dibacakan oleh beberapa penumpang.
Pelaku diduga Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang terbang bersama Munir lalu turun di Singapura. Namun hal ini masih tergolong nihil, sampai pada pertengahan 2008, nama lain yakni Mayjen (Purn) Muchdi Pr yang merupakan teman dekat Prabowo Subianto, sempat ditangkap karena diduga otak pembunuhan Munir, namun kembali dilepas. Sampai detik ini, kasus pembunuhan sang penegak keadilan tersebut masih samar. Kita tak boleh tinggal diam. Demokrasi masa kini yang katanya lebih ‘demokrasi’, dibandingkan Masa Orde Baru yang hanya demokrasi secara tertulis, harus dimanfaatkan seoptimal mungkin.
Indonesia tak berdaya ketika sang revolusioner dibungkam; bagaikan pencapaian yang tinggal satu centimeter lagi di depan hidung, tapi ternyata targetnya pupus terhempas asap bus kota. Berbicara soal Munir, tanah air bagaikan kehilangan akal sehatnya untuk bersikap jujur. Dampak negatif tanpa positif terkait hukum dan keadilan tanah air terus mengakar bahkan setelah pria keturunan Arab ini meninggal. Namun bagaikan mati satu tumbuh seribu, arwah dan semangat Munir bagaikan terbagi ke dalam diri manusia saat ini. Pemerintah: kelimpungan.
Bukan berarti perjuangan Munir terhenti saat racun arsenik mengobrak-abrik jaringan tubuhnya. Kebodohan baru saja dilakukan oleh pembunuh tersebut; ingat, membunuh satu Munir sama saja dengan menciptakan seribu Munir yang baru. Silahkan bunuh seribu Munir, maka akan kembali tercipta sepuluh ribu Munir. Ia, dengan segala perjuangan nan sucinya, akan terus dijunjung sampai mati oleh jasad-jasad manusia yang dirasuki arwahnya. Satu dasawarsa pasca kehilangan sosok humoris ini, merupakan titik awal bangkitnya pergerakan Indonesia.
Sepuluh tahun lalu merupakan jatuhnya Munir sekaligus bangkitnya seribu atau bahkan semilyar Munir yang baru. Hanya doa dan ucapan rasa terima kasih pada pria berkumis yang kini sedang tersenyum di atas tatanan surga tertinggi di sana, menandakan bahwa perjuangannya akan terus dilanjutkan tak hanya oleh satu orang, melainkan lebih. Sepuluh tahun engkau pergi, sepuluh tahun pula kami terus menuntut keadilan akan negara rimba ini. Sepuluh tahun engkau beristirahat di sisi-Nya, sepuluh tahun pula kami tak akan pernah rehat sejenak untuk mendewasakan Indonesia. Selamat jalan Munir, sepuluh tahun adalah kesedihan mendalam sekaligus motivasi buat kami untuk terus menebas ketidakadilan. Sepuluh tahun berlalu, kami tetap menolak lupa.
*penulis adalah Pemimpin Umum Pers Suara Mahasiswa Unisba