Oleh: Bobby Agung Prasetyo*
Sungguh sakral, suci, dan fitrah adanya. Hari ini merupakan saat di mana kita dapat merenung, menguraikan air mata, merasakan sakitnya sebuah perjuangan, kemudian tersenyum lega. Maaf-maaf kata, ini bukan hari dimana anda menikah lalu bermain ‘perang bintang’ di malam harinya, yang saya maksud adalah Hari Pahlawan.
Ya, 10 November.
Peristiwa ini menjadi kenangan personal bagi diri saya, tepat 8 tahun lalu, ketika masih mengenakan seragam putih-biru dan memiliki rutinitas wajib bermain PlayStation 2 sepulang sekolah.
Kala itu, suasana hening. Saya duduk di bangku ketiga dari depan, barisan kedua dari kanan, memperhatikan guru pelajaran Sejarah yang sedang menjelaskan perjuangan arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan tanahnya. Saat itu, tepatnya ketika masih kelas 7 SMP, saya berusaha mencerna arti dari pahlawan yang sebenarnya; karena setahu saya, pahlawan adalah orang-orang yang menang dalam pertempuran. Bahkan dalam pemahaman yang lebih mendasar lagi (saat itu), pahlawan bagi saya adalah Power Rangers, Ultraman, Panji Manusia Millenium, dan Saras 008.
Apa itu definisi dari kata ‘pahlawan’?
“Orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani” ujar KBBI, ketika saya mencari kata tersebut di kolom huruf P.
Namun jika kata tersebut diserahkan pada manusia dengan hakikat worldview 2 ala Stephen Little John dimana dunia senantiasa berada dalam proses dan realitas dikonstruksi, maka maknanya pasti akan berbeda. Jika bertanya pada saya, maka makna pahlawan sungguhlah luas adanya. Pahlawan tak hanya ada di medan perang, tapi dimanapun mereka berada dan menginspirasi diri kita untuk dapat eksis dalam kehidupan. Rasanya tak perlu menjelaskan lagi latar belakang terjadinya peristiwa 10 November dan peran Bung Tomo, karena pembaca juga sudah sama-sama melewati tahap kelas 7 SMP layaknya saya.
Sedikit intermezzo, siapa yang sepakat jika saya mengeluarkan statement bahwa kemarin Persib Bandung menjadi pahlawan buat kita selaku warga Tanah Pasundan. Semua tumpah ruah ke jalan, ada yang berdansa ria di perempatan, ada yang telanjang tanpa sehelai benang, atas nama euforia yang bergelinjang dalam dada. Sekedar info, beberapa hari lalu, klub sepak bola tercinta milik urang Bandung ini menjadi kampiun Liga Super Indonesia 2014, menekuk Persipura lewat drama adu penalti.
Seiring berjalannya waktu, pengartian pahlawan menjadi luas. Mereka menjelma nan menghantui kita untuk dapat melanjutkan perjuangannya. Lantas apa yang harus kita lakukan?
Bukan jawaban yang sulit, karena perjuangan yang mesti kita lanjutkan tak sekira yang dibayangkan. Memperjuangkan hak asasi manusia, melindungi sesama yang butuh pertolongan, bahkan bersikap jujur ketika sedang UTS (terkhusus buat mahasiswa Unisba yang sedang berjuang menghadapi ujian ini) pun sudah cukup. Dengan menjalankan hal elementer tersebut, maka kita tak perlu ragu untuk memperjuangkan hal besar nantinya. Jangan sampai perjuangan para pendahulu kita abaikan, karena berjuang tak semudah membeli ayam katsu di Kopma.
Jasa-jasa pahlawan revolusioner sungguhlah besar. Jika tak ada mereka, maka tak ada pula kebebasan saat ini. Kebebasan yang saya maksud bahkan sampai ke kebebasan tak penting yang kini rutin terjadi; kebebasan mencaci-maki musuh dan kebebasan memamerkan kegalauan yang teramat dahsyat di jejaring sosial. Jangan pernah lupakan perjuangan mereka, karena kesibukan ini tidak sebegitu lebay-nya. Betul kan?
Ada satu peristiwa langka semalam, ketika dua wartawan Pers Suara Mahasiswa yakni Nahjul Istihsan dan Muthia Meilanie menyambangi Taman Makam Pahlawan di Cikutra untuk meliput renungan suci bagi pahlawan yang telah berjasa. Namun hasilnya nihil; kondisi di sana sepi. Kemanakah para pelayat? Sudah lupa dengan perjuangan para pendahulu?
Sebesar apapun rasa lupa, sesibuk apapun kegiatan individu yang kita jalani, seberapa tumpuk tugas UTS yang harus dijabani, pahlawan akan terus ada dimana-mana. Entah itu kamu, dia, mereka, atau yang di sana. Sadar atau tidak, pahlawan selalu menghantui kita dan menuntut untuk melanjutkan perjuangannya.
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah
yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih
maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga”
Melalui semangat Bung Tomo lewat kutipan pidato yang ia dakwahkan pada 10 November 1945 tersebut, saya beserta jajaran pengurus Pers Suara Mahasiswa Unisba mengucapkan Selamat Hari Pahlawan. Perjuangan para pendahulu, dengan segala bentuk dan keterbatasan yang ada pada diri kita saat ini, mutlak harus dilanjutkan.
*Penulis adalah Pemimpin Umum Pers Suara Mahasiswa