Oleh : Faza Rahim/SM
Masa kampanye untuk pemilihan presiden sudah resmi dimulai. Inilah keadaan dimana segala taktik juga strategi politik dipergunakan. Alih-alih berlomba merebut hati masyarakat, tetapi malah justru kadang menganggu dan membuat khalayak merasa semakin ragu. Penuh janji, yang mungkin nanti masih tetap menjadi janji tidak juga kunjung terpenuhi, akhirnya basi.
Senja masih belum meninggi, masih banyak mahasiswa lalu-lalang di wilayah kampus. Namun, ada satu yang mencolok, Kanvas itu. Wajah salah satu CAPRES tergambar dalam kain putih tersebut . Mungkin ini karya seni atau tugas mahasiswa. Lalu apa itu karya seni? Tugas? Bila ternyata pada sisi lain kanvas terdapat satu kalimat proaktif yang kesannya persuasif. Menurut beberapa sumber, rupanya kanvas ini telah berada 3 minggu di kampus biru. Wah, cukup lama ya? Mengapa kita baru sadar? Benarkah mahasiswa sekarang terlalu apatis untuk urusan yang dianggap berbau politik?.
Pada artikel ini, saya ingin menulis tentang masalah politik juga netralitas kampus. Apa sebenarnya yang menjadi paradigma bahwa kampus harus netral, juga bersih dari kegiatan politik praktis? Dasar hukum yang ada tidak mengatur secara langsung tentang hal itu. Adapun dasar hukum yang mengarahkan paradigma ini salah satunya terdapat dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 86 ayat 1 poin F yang melarang adanya kampanye pemilu yang menggunakan tempat pendidikan.
Kampus seharusnya berisi pemuda yang masih idealis dan kritis, yang di tangannya nasib dan masa depan bangsa ditentukan. Tempat yang identik dengan mahasiswa berintelek seharusnya dipenuhi dengan generasi muda yang haus ilmu pengetahuan, dan mencari kebenaran. Patut kita garis bawahi bahwa bersikap netral, bukan berarti kita alergi terhadap politik, tidak punya pilihan, serta apatis. Disini maksudnya menunjukkan ketidakberpihakan terhadap satu golongan politik dan mengintervensi orang lain untuk berpihak pada satu golongan politik tertentu. Menurut Indeks Demokrasi Indonesia yang dipublish oleh The Economist (2012) dalam kategori demokrasi yang masih cacat (flawed democracy), kiranya dapat melibatkan kekuatan masyarakat di Perguruan Tinggi. Ternyata, suara demokrasi dan suara moral kampus merupakan jelmaan dari suara rakyat dalam lingkup kecil. Sudah jadi rahasia umum pula bukan, bahwa mahasiswa, seharusnya menjadi Agent of Change untuk kemajuan suatu bangsa.
Jika kampus sudah diperkeruh dengan upaya intervensi politik, apapun kepentingannya, dan siapapun pelakunya berarti akan semakin banyak orang yang diperbudak oleh para oportunis. Dan sekarang kita mengalaminya. “Indonesia dijajah begitu lama karena di tengah-tengah perjuangannya selalu ada pengkhianat dan oportunis sejati.” (Dermawan Wibisono, Gading-Gading Ganesha)
Kampus netral adalah harga mati.