
Oleh: Bobby Agung Prasetyo*
“Selamat datang di era kemunduran, pikiran tertutup jadi andalan”
–hanya menyanyikan lagu Individu Merdeka milik Seringai, band favorit saya.
Minggu kemarin, Unisba melangsungkan acara rutin tahunan demi menyambut mahasiswa baru, dinamakan Taaruf. Kampus Biru saat itu benar-benar biru; sebuah elegi, ketika biru itu hanya bertahan selama seminggu, lalu dilanjutkan dengan berjuta kisah haru biru.
Pergelaran Taaruf bertemakan “Relasi Moral dan Etika Akademik” ini, bagi saya sangat cocok untuk menciptakan mahasiswa akademis yang siap menjadi bintang di kelas. Negatifnya, dalam pandangan pribadi, kurang dari segi menciptakan kader organisasi yang aktif dan ingin berkonstribusi dalam membangkitkan dinamika kampus.
Kekecewaan merundung diri kami, beberapa organisasi di kampus. Silahkan cek penyebabnya (klik di sini). Perkenalan LKM pada Taaruf hari kedua, Selasa (9/9), yang katanya berkisar 5 menit, dipangkas jadi 1-2 menit. Ucapan dan pemotongan pembicaraaan yang dilakukan oleh sang moderator pun, dihalalkan demi mempersingkat waktu.
Mari menengok hari sebelumnya.Senin (8/9), saat pidato, Rektor berujar bahwa ikut organisasi adalah penting sebagai penunjang ilmu-ilmu di kelas, seperti melatih kepemimpinan dan pengalaman. Namun di keesokan harinya, sejumlah 2.736 mahasiswa sudah melihat bagaimana pihak panitia yang notabenenya dosen, memperlakukan kami yaitu organisasi kampus.
Hingga akhirnya, pada sore hari nan syahdu di hari kedua Taaruf itu, terjadilah diskusi dan klarifikasi antar aktivis kampus dan Lilim Halimah sendiri, yang juga merupakan Wakil Ketua 2 kepanitiaan Taaruf (cek di sini).
Ia turut menyampaikan dan menitipkan pesan kepada aktivis yang ada saat itu, agar tak sungkan untuk menyebarkan permohonan maafnya pada pihak organisasi lain. Anggaplah masalah ini sudah selesai, dan kepada para barisan sakit hati, mohon maafkan segala perbuatan dosen kita tercinta—karena bagaimanapun, dosen juga manusia.
Tak seluruhnya mahasiswa baru yang melihat peristiwa itu, bungkam dalam seribu tanya, Ada yang angkat bicara, namanya Aisha Nurrahman (klik di sini). Terima kasih saya ucapkan, karena tak ragu untuk mengutarakan perasaannya pada salah satu jurnalis kami. Mungkin yang dapat saya harapkan adalah, semoga prasangka buruk saya terhadap apatisasi mahasiswa, dapat terhapuskan.
Nasi sudah menjadi bubur, buburnya bubur Mang Kosim (pedagang bubur favorit saya di kaki lima Unisba—maaf tak bermaksud mengiklan). Sang wakil ketua panitia sudah meminta maaf, teman-teman organisasi lain sepatutnya sudah mendapat kejelasan, namun paradigma dua ribu lebih mahasiswa baru tak ada yang tahu. Mari kita lihat selepas Unisba Expo; mari berorganisasi demi iklim kampus yang lebih hangat; atau jika memilih ‘tuk berada dalam zona nyaman kampus beserta fasilitas Wi-fi nya yang cepat dan memanjakan jiwa sosialita, mari tak usah berorganisasi.
*penulis adalah Pemimpin Umum Pers Suara Mahasiswa Unisba