Foto: Ilustrasi
Pancasila lahir melalui nasionalisme bangsa, senasib dalam peperangan dan keinginan untuk meraih kebebasan menjadi buah pikir bangsa Indonesia kala itu. Jepang dengan janji kemerdekaannya, melahirkan himpunan sekelompok orang Indonesia dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Bangsa Indonesia akhirnya dapat secara legal mempersiapkan diri menjadi negara merdeka.
Perumusan dasar negara dalam sidang BPUPKI melahirkan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila. Bersumber dari situs munindo.brd.de. yang dikutip dari buku ‘Lahirnya Pancasila’ cetakan kedua, dalam pidato tak tertulis Soekarno di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai pada tanggal 1 Juni 1945 ketika sidang membicarakan ‘Dasar (Beginsel) Negara’ kita, Soekarno dikatakan:
“Perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk keTuhananan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun.”
Seperti kata Soekarno, Pancasila merupakan dasar Indonesia merdeka yang kekal abadi. Pancasila mempunyai hakikat sebagai dasar negara, pandangan hidup, kepribadian bangsa, perjanjian luhur bangsa, dan sebagai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. Namun, nilai luhur pancasila selama ini hanya sakral dalam kata dan gambar, pada kenyataannya implementasi dalam perbuatan masih menyimpang dari pedoman bangsa Indonesia Pancasila.
Jika memahami kembali sila pertama ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ menyatakan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religius. Dalam sila pertama ini terkandung nilai-nilai ketuhanan dan toleransi umat beragama merupakan salah satu manifestasi dari nilai yang terkandung. Sayangnya, masih saja ada kasus yang mencederai toleransi umat beragama turut mewarnai pemberitaan media massa sepanjang tahun ini.
Baru-baru ini, tanggal 13 Mei lalu terjadi serangkaian teror bom gereja di Surabaya. Peledakan bom ini terjadi pada tiga gereja yang berbeda di Surabaya. Teroris yang katanya melakukan jihad dalam agama Islam ini, melakukan peledakan bom bunuh diri. Bahkan di salah satu gereja peledakan bom dilakukan oleh seorang wanita yang membawa dua anak. Ketiganya meledakan diri secara bersamaan. Sungguh sebutan jihad yang dilakukan teroris itu bukan sesuatu yang di ajarkan Islam. Kejadian tersebut dianggap masyarakat telah mencederai toleransi umat beragama dan nilai kemanusiaan.
Nilai kemanusiaan dalam sila kedua ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’ menggambarkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai moral hidup bersama atas dasar hati nurani. Namun, Serangkaian kasus kriminal, dari mulai aksi geng motor hingga begal yang belakangan ini melayangkan nyawa seseorang yang tidak bersalah. Kasus seorang anak membunuh ayahnya di Tasikmalaya. Kasus pemerkosaan, hingga pelecehan seksual. Dari perbudakan pekerja yang dikirim ke luar negeri, hingga anak di bawah umur yang berjualan di pinggir jalan raya. Fenomena tersebut menggambarkan masih jauhnya penerapan sila kedua dari harapan kemanusiaan.
Begitupun dengan sila selanjutnya, sila ketiga ‘Persatuan Indonesia’ yang seharusnya bersatu dalam perbedaan suku, agama, ras dan kebudayaan. Namun nyatanya perpecahan masih ada. Terpecah belahnya pendukung rezim pemerintah hingga berujung pada kekerasan, terpecahnya umat beragama akibat hasil dari momentum perpolitikan, beredarnya ujaran kebencian melalui pemberitaan abal-abal, hingga pemuka agama yang berceramah di luar batas etika seorang pemuka.
Sila keempat ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’ menjelaskan bahwa kepentingan masyarakat dan negara seharusnya menjadi yang utama. Namun jika melihat para wakil rakyat dengan janjinya yang terbengkalai, pejabat yang tertidur bahkan pejabat yang menyaksikan adegan porno ketika rapat untuk kepentingan negara, bagaimana dengan undang-undang yang dibuat pemerintah untuk menghindari kritik dari rakyat, lemahnya hukuman bagi para koruptor di samping seorang nenek yang di penjara karena menebang pohon durian.
Berbicara tentang keadilan seluruh elemen masyarakat, sila kelima ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ menginginkan rakyat untuk adil dalam mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dimanakah keadilan ketika rakyat Papua masih menderita disisi sumber daya alamnya yang begelimang harta? Kesehatan yang buruk dan kelaparan pun masih merebak di pedalaman gang di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya. Nasib para veteran perang kemerdekaan seperti Sulawi di Jogja pun berakhir miris menjadi pengemis.
Mengingat keagungan Pancasila sebagai dasar negara yang artinya menjadi pedoman bangsa, seharusnya membuat kita sadar akan pentingnya memahami Pancasila. Implementasi Pancasila dalam Undang-Undang serta dalam perbuatan mestinya menjadi fokus bangsa Indonesia. Jangan lupa terhadap korupsi yang menjadi penyakit akut bangsa Indonesia. Bagi penulis, korupsi sudah mencederai ke semua sila dalam Pancasila. Para pahlawan kita membuat Pancasila sebagai pedoman untuk menghindari Indonesia dari kesesatan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang seutuhnya. Selamat Hari Lahir Pancasila yang jatuh tiap 1 Juni.
Oleh Fadil Muhammad/SM