Mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas di penghujung deadline sehingga dirinya menggunakan teknologi ChatGPT. (Ilustrasi: Muhammad Dwi Septian/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba– Perkembangan zaman membawa teknologi ke level yang berbeda, hanya dengan menginput kata kunci maka dapat keluar jawaban dengan bentuk yang diinginkan. Kecerdasan buatan ini ditawarkan oleh teknologi Chat Generative Pre-training Transformer (ChatGPT) yang dirilis 30 November 2022 lalu. Saking populernya, ketika versi terbaru dilansirkan pada Maret 2023 penggunanya telah mencapai 1,6 miliar di seluruh dunia.
ChatGPT diluncurkan dengan tujuan membantu penggunanya memberikan informasi dan mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan. Teknologi ini memudahkan banyak orang, terutama pelajar atau mahasiswa dalam merampungkan tugasnya. Meski begitu, layaknya dua sisi mata pedang, hal ini lantas menghadirkan polemik di kalangan akademisi.
Ferry Darmawan selaku Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Islam Bandung (Unisba) tak menutup mata akan kehadiran ChatGPT, ia menyadari teknologi ini memiliki sisi positif dan negatif. Ferry mengatakan bahwa teknologi tidak bisa dibatasi namun etika akademik yang dapat membatasi penggunaannya dalam menyelesaikan tugas akademik.
“Menurut saya masuknya ChatGPT ke ranah akademik memang tidak bisa dihindari, cuman yang perlu diperhatikan adalah etika akademiknya itu yang bisa membatasi diri kita sendiri menghadapi AI (Artificial Intelligence) dalam keperluan akademik, entah itu bagi dosen atau mahasiswa,” ungkapnya saat diwawancarai.
Senada dengan itu, salah satu Dosen Fakultas Hukum (FH) Unisba, Rimba Supriatna juga tidak mempermasalahkan penggunaan ChatGPT bagi mahasiswa. Menurutnya ia tidak mempermasalahkan jika ada mahasiswa yang mengerjakan tugas dengan teknologi ChatGPT selagi mahasiswa tersebut mengedepankan etika dan moral akademiknya.
“Kalau saya pribadi melihatnya tidak masalah sepanjang disitu ada moral dan etika yang dijunjung, sehingga jangan kemudian dengan memanfaatkan teknologi AI ini artinya seratus persen tugas-tugasnya dikerjakan oleh teknologi tersebut,” tuturnya.
Meski begitu, tidak semua pengguna ChatGPT khususnya mahasiswa menghiraukan moral dan etika dalam merampungkan tugasnya, apalagi ketika sudah terdesak deadline. Mereka bisa saja mengandalkan ChatGPT sebagai sumber tunggal untuk mencari jawaban tanpa mempertanyakan validitas atau keandalan informasi tersebut. Dampak buruk pun bisa terjadi karena akurasi kecerdasan buatan ini tidaklah seratus persen.
Dalam acara ‘Conversation with Sam Altman’ di Jakarta pada Rabu (14/6) Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) mengatakan teknologi AI membuat para guru resah karena tantangan dalam penilaian kuantitas dan kualitas. Hal ini lantas menjadi tugas lebih seorang pengajar dalam proses belajar mengajar.
Salah satu guru besar Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) Universitas Indonesia (UI), Wisnu Jatmiko pun khawatir jika teknologi ini akan menumpulkan pemikiran kritis mahasiswa. Ia mengatakan dalam seminar daring bertajuk “Etika Artificial Intelligence Penggunaan ChatGPT di Lingkungan Akademik” bahwa kesalahan dalam memahami konteks dapat menghasilkan output yang tidak benar.
Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) menuliskan dalam situs webnya menyebutkan beberapa dampak negatif terkait teknologi tersebut. Di antaranya ialah penyebaran konten yang tidak etis, meningkatnya kesenjangan digital, dan penyebaran informasi palsu.
Dengan adanya polemik yang terjadi pada penggunaan ChatGPT di ranah akademik, Ferry mengharapkan para pengguna ChatGPT menggunakan teknologi tersebut dengan bijak. Selaras dengan harapan tersebut, Rimba pun mengharapkan agar pengguna ChatGPT sebelum menggunakan teknologi tersebut harus memahami dulu fitur-fitur yang ada di teknologi AI tersebut.
Dari beberapa dampak yang ada kemudian dapat dikatakan bahwa semua teknologi termasuk ChatGPT memiliki dampak positif dan negatif. Penggunanya harus bijak dalam memberdayakan suatu teknologi agar tidak merugikan diri sendiri. Bijak menggunakannya dalam dunia akademik yaitu dengan tidak menjadikan ChatGPT sebagai sumber tunggal dan selalu mencari kebenaran dari informasi yang didapat.
Penulis: Fikri Fadilah/SM
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM