Suaramahasiswa.info, Unisba- “Dulu Mama kalo main tuh main kelereng, lompat tali, main kejar-kejaran sama temen, enggak ada tuh, yang main handphone. Anak jaman sekarang mah dikit-dikit handphone, dimana-mana pada main handphone.”
Dialog tersebut seperti sudah kebal di telinga kita, saking seringnya terdengar. Generasi yang lebih tua kerap membandingkan kehidupan mereka dengan kehidupan generasi muda sekarang. Mereka menganggap bahwa kehidupan zaman dulu lebih baik dibanding kehidupan anak muda sekarang.
Ternyata fenomena itu disebut dengan “Kids these Days”. Digagas oleh John Protzko dan Jonathan W.Schooler, istilah ini digunakan untuk menggambarkan anggapan jika generasi muda lebih buruk dibandingkan generasi sebelumnya. Dalam studi mereka, terdapat tiga aspek persepsi yang memengaruhi anggapan tersebut, yaitu persepsi masyarakat terhadap rasa menghormati, intelegensi, dan minat baca dari generasi muda saat ini.
Berdasarkan hasil studinya, semakin seseorang memiliki karakter otoritarian, ia akan menganggap jika anak muda kurang memiliki rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Orang-orang yang memiliki intelegensi dan kaum cerdik cendekia juga dikatakan cenderung memiliki anggapan bahwa anak muda saat ini kurang cerdas dibandingkan mereka.
Selain itu, Protzko dan Schooler juga menyebutkan dalam pendahuluan artikelnya bahwa keluhan defisien atau kemunduran generasi muda telah terjadi sejak lebih dari 2.500 tahun silam. Ekspresi ini seringkali digunakan dengan nada yang mengomentari dan mengkritik yang bernostalgia, seperti melihat bahwa generasi muda tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dianut oleh generasi yang lebih tua.
Saat ini, fenomena “Kids these Days” sendiri sedang menyoroti Generasi-Z (Gen-Z) mencakup generasi yang lahir dalam rentang tahun 1997-2012. Hal tersebut dikarenakan Gen-Z yang saat ini mulai menginjak usia produktif dan merupakan penduduk terbanyak di Indonesia.
Selain Gen-Z sendiri, terdapat beberapa jenis generasi lainnya yang dikelompokkan berdasarkan tahun kelahiran dan lingkungan yang sama. Generasi tersebut di antaranya generasi Pre-Boomer, generasi Baby Boomer, Gen-X, generasi milenial, dan generasi Alpha.
Gen-Z yang tumbuh pada era perubahan sosial dan perkembangan teknologi yang pesat membuat generasi sebelumnya merasa khawatir dan tidak sepenuhnya percaya pada kemampuan Gen-Z. Hal tersebut dikarenakan Gen-Z yang sangat terikat dan bergantung dengan teknologi.
Kebergantungan tersebut dapat dilihat dalam kehidupan Gen-Z sehari-hari seperti interaksi yang lebih sering dilakukan melalui media sosial serta hiburan digital seperti streaming video dan game online. Selain itu, dalam lingkungan kampus, Gen-Z cenderung menggunakan teknologi dalam kegiatan pembelajaran dan aktif di media sosial untuk kegiatan akademik.
Dilansir dari jurnal Seminar Nasional Universitas Negeri Surabaya (Unesa), ada beberapa faktor yang memengaruhi munculnya stereotip pada Gen-Z. Faktor tersebut adalah perbedaan dalam hal sosial, ekonomi, dan politik antara generasi sebelumnya, yaitu Generasi Millenial dengan Gen-Z yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang berbeda.
Meskipun begitu, stereotipe negatif itu tidak hanya terjadi terhadap Gen-Z melainkan pada tiap generasi. Bahkan Gen Milenial juga lekat dengan stereotip narsis, materialistis, pemalas, enggan bekerja keras, dan suka yang serba instan dari generasi yang lebih tua.
Hal tersebut dijelaskan oleh Brian Resnick dalam tulisannya Why old people will always complain about young people yang menyatakan bahwa generasi muda pada waktu itu akan mengeluhkan generasi muda berikutnya. Hal ini terjadi pula saat mereka menjadi tua, dan begitu seterusnya. Perlu diperhatikan, jika penting bagi generasi saat ini untuk tidak terjebak dalam stereotipe negatif terhadap generasi masa yang akan datang agar tidak timbul perasaan superior.
Penulis: Linda Puji Yanti/SM
Redaktur: Adelia Nanda Maulana/SM