Oleh: Bobby Agung Prasetyo*
Beberapa waktu lalu, saya kehilangan helm di lahan parkir bawah. Setelah dipikir-pikir, ternyata sudah banyak hal yang saya sumbangkan teruntuk Unisba: uang, tenaga, pikiran, dan empat helm. Ya, patut diakui bahwa ini semua adalah kesalahan pribadi yang kemarin terburu-buru untuk mengambil name tag pesantren calon sarjana di Masjid Al-Ashari. Kehilangan helm ini, sebetulnya tak buruk-buruk amat buat keberlangsungan hidup saya.
Meski begitu, ini juga bukan kesombongan tentang seberapa tebal dompet saya untuk membeli helm baru kelak. Dan juga, tulisan ini juga bukan ratapan atau bentuk kenarsisan saya yang baru saja kehilangan helm lalu, berharap dikasihani maba-maba menggemaskan yang bahkan saat ini saya sudah malas untuk kepo identitasnya—beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dalam perenungan di jalan pulang, saya berpikir tentang tingkat moralitas warga kampus biru yang mesti sama-sama kita pertanyakan.
Universitas Islam Bandung sudah berdiri sedemikian lamanya, menawarkan pengajaran dengan metode Islami yang penuh sarat akan moral serta mampu membangun pribadi yang baik dalam segala aspek. Seiring berjalannya waktu, dinamika kampus serta intrik sehat antar Keluarga Besar Mahasiswa Unisba (KBMU) menjadi penunjang kepribadian kita agar tak hanya baik secara akhlak, tapi juga unggul dan taktis secara intelektual. Kegiatan belajar mengajar tak usah ditanya, karena sedari dipelonco kala PPMB sampai nanti mengucapkan salam terima kasih saat pembagian toga, diri kita sudah didesain sedemikian rupa agar terus-menerus haus menerima materi yang dijajakan. Masih mempertanyakan moral yang sudah saya cantumkan kata-katanya di kalimat pertama paragraf ini?
Tak ada yang salah pada semua tahapan tersebut, dan nihil kesempurnaan disetiap aspeknya. Helm hilang, itu masalah sepele. Kita mesti memikirkan kehilangan-kehilangan lainnya yang sebetulnya sudah terjadi dan tak disadari. Dari pihak mahasiswa misalnya, bersikap apatis, mengingkari aktif dalam organisasi, atau hal penting lainnya seperti mengabaikan makna tri dharma perguruan tinggi, adalah bentuk pudarnya moral yang patut kita amini bersama-sama.
Mahasiswa di era populer saat ini, adalah individu-individu terasingkan yang satu sama lainnya membatasi target hanya sampai di gelar atau kelulusan. Sesudahnya, tak lebih dari sekedar anak ayam warna-warni di depan sekolah dasar terdekat yang hanya berciak-ciak menunggu dibeli orang. Meski begitu, secara normatif mesti saya jelaskan bahwa tak semuanya seperti itu.
Bukan kita saja, para mahasiswa, yang kekurangan nutrisi moral. Masih banyak lagi pelaku lain macam tenaga pengajar yang saat ini minim dalam menganggap anak didiknya sebagai amunisi berbahaya di kemudian hari nanti. Apakah kesalahan masih menjurus ke mahasiswa atau tidak, tapi cerita-cerita klise tentang dosen yang jarang hadir di kelas atau lebih disibukkan dengan penelitian di luar adalah elegi tersendiri bagi para penyemat makna Mujahid, Mujtahid, dan Mujadid ini. Sungguh bagai mendengar kisah cinta bertepuk sebelah tangan, tatkala ada salah satu sahabat yang selalu bersemangat pergi ke kelas, namun apinya dipadamkan ketika mengetahui materi yang ia dapatkan tak sepadat apa yang ia harapkan.
Untuk lapisan lain macam petugas akademik, cleaning service, serta pedagang sekitar, mereka semua seolah menjadi pemeran pembantu dalam balada tak berkesudahan ini. Memang lapisan ini sering kita lupakan, namun berbicara soal kontribusi secara baik atau buruk, mereka ada andilnya. Masih merokok di sekitaran area kampus yang seharusnya tak boleh, minim kooperatif serta mangkir sana-sini, juga perdebatan menyoal harga lapak untuk berdagang, menjadi desas-desus yang punya peran besar dalam rantai proses wasting time ini.
Sekali lagi, kehilangan helm tak ada apa-apanya dibanding kehilangan moral yang sebetulnya tak perlu terjadi karena sudah diajarkan sedari sosialisasi primer dimulai. Di sini, kampus yang saya cintai, helm saja bisa dengan mudahnya hilang. Tak satu atau dua kali, malah. Jika memang kebiadaban ini hanya berhenti di kehilangan helm, maka saya akan segera bersyukur karena faktor-faktor lain semacam moralitas masih akan terus terjaga keberadaannnya. Namun jika beberapa paragraf yang saya tulis di atas saja sudah bisa menjelaskan ihwal hal penting lainnya juga turut hilang, mau berbicara apa lagi?
Kecintaan terhadap kampus bukan hanya soal pasang status tempat kuliah di media sosial saja, namun juga tentang bagaimana satu sama lain silih menjaga keberadaban yang telah disematkan oleh pendiri Unisba sedari dulu. Apa perlu, saya mengusulkan kepada penerbit “John Wiley & Sons”untuk membuat buku Moral Education for Dummies?
Mari hitung-hitungan: helm saya yang hilang, harganya 150 ribu. Oke, berkuliah di kampus biru sampai lulus, harganya cukup besar jika tak mengandalkan pundi-pundi orang tua. Namun soal moral, siapa sanggup menanggung? Jika begini terus, tanpa membutuhkan akurasi secara kuantitatif pun, kita sudah bisa memperhitungkan tingkat moralitas yang terukur dalam kampus biru. Sekali lagi: cinta pada Unisba bukan hanya soal pasang status tempat kuliahmu di media sosial saja, namun juga tentang bagaimana satu sama lain silih menjaga tingkat moralitas di parameter yang semestinya. Berangkat dari kasus ini, semoga semuanya bisa menjadi pecinta yang baik dan handal demi mengatasi kehilangan-kehilangan lainnya.
*Penulis adalah mahasiswa Fikom Unisba 2011 selaku pemilik motor Honda Verza warna silver berstiker “The Who” di spakbor belakangnya. Biasa parkir di depan gerbang utama dan lahan parkir bawah. Masih rindu, namun kini coba mengikhlaskan helmnya yang raib untuk keempat kalinya di kampus tempat ia menuntut ilmu.