Teks: Muhammad R. Iskandar
“Ahh.. Mau apa lagi mereka datang ke gubuk ku ini? Aku tak butuh lagi dibela, yang terpenting bagaimana gabah ku terjual dengan harga tinggi.” Umpat Kirman, saat tiga orang pria datang menghampirinya meminta upeti. Belum habis asap tembakaunya, Kirman menghampiri dengan parang dalam genggamannya. Tak ragu ia tujukan senjata itu tepat di hidung pria terdepan.
“Mau apa lagi kau?” teriak Kirman.
Setengah pucat, Widodo itu merogoh kantungnya. Sebuah belati kini terhadap di bola mata Kirman.
Situasi ini tak berlangsung lama, karena Sukorudin menghampiri kemelut empat pria tadi. “Hei! Ojo koyo ngono Man, wis ngomong sing baek,” seraya petani tua itu melepas cangkul dan menghampiri mereka.
“Aku wis bosan mas, ni asu wis kurang ajar sama petani kayak kita-kita ini mas!”
Ketiga orang tadi saling tatap, tangan Widodo makin dingin. Ia tak ingin lehernya kena tebas, namun tak kuasa pula layangkan belatinya. Ia ingat Diah, istrinya. Widodo seketika ingat hari pernikahan mereka 8 tahun lalu. Tawa, canda, dan ucapan selamat terus mengalir, semuanya bahagia tak seperti sekarang. Momen bahagia lain pun menyelundup dalam fikirannya, ia teringat anaknya yang masih belajar jalan, jatuh dan tertawa.
Bayangan itu tak lama berlari di pikiran Widodo. Bagus mengagetnya, “Bos, tebas aja bos, dia memang suka cari gara-gara, kita juga harus ke ladang sebelah.”
Nyatanya himbauan itu tak penuh menyadarkan Widodo akan situsi dadakan yang ia hadapi. Bayangan anaknya, Sirum, terus bermain-main dibenaknya. ingin rasanya pria berkumis itu lari ke gubuknya dan memeluk apa yang ia punya, dari pada harus mencari rizki seperti ini.
Jauh dalam hati Widodo seolah tak mau munafik, pria didepannya jauh lebih muda, namun sama punya tanggungan, anak, juga istri. Ia pun sadar betul yang ia lakukan salah, namun sekarat sudah di ujung pisau, ia masih terkakukan imaji.
Seketika Kirman menarik parang, sang kakak, Sukorudin yang meminta. Setengah ingin meludah, ia kembali di pangkuan gubuk. Direbahkannya tubuh kekar hitam itu, namun parang masih terus di tangan. Teh manis disana tak jadi diminumnya, begitu pun bekal dari istrinya, tak jadi pula di santap.
Kirman hanya ingin Widodo dan konconya pergi. Karena hari ini anaknya sudah merengek dibelikan sepatu. Uang upeti itu modalnya ke kota. Sebuah sepedah pun telah ia sewa sebelum keladang. Setengah pusing, si puntung tembakau ia bakar lagi.
“Yowis, mau mu apa do?” Tanya Sukorudin.
“Bbbi biasa mas, aku mau ambil jatah hari ini.” Tergagap Widodo menjawab. Biasanya ia tak segemetaran ini, namun karena masih terbayang besi berkarat itu, takut tak lagi bisa disembunyikannya.
Tak sabaran, Bagus meminta semua uang uang kertas yang sedang Sukorudin hitung. Tak, sempat tau nominalnya, lelaki gaek itu menatap hina Bagus dan dua rekannya. “Sudah! Tak ambil semua, buang-buang tenaga. Seperti yang pernah makan bangku sekolah saja kamu mbah!”
Sukorudin tentu hanya diam, ia cuma mengutuk tindak tanduk kroco-kroco Broto, si preman yang mengaku akan melindungi tanah-tanah petani dari penggusuran.
Jauh sebelumnya, tanah taninya akan dijadikan jalan, namun tak sepeser pun ganti rugi ia dapat. Katanya, itu tanah provinsi, tapi bagi Sukorudin, tanahnya milik NKRI. Ia sudah rela angkat sejata dulu, pantas bila ia dapat sepetak tanah untuk hidup. Kini ia dan adiknya, Kirman yang banting tulang demi si ladang tetap gembur dan berair.
Walau tak lagi serumah, kakak beradik ini tetap mengurusi lahan bersama. Kirman sempat ke kota untuk jadi tukang kebun, namun karena istrinya hamil tua ia putuskan pulang. Tentu bolak balik rumah ladang jadi hal biasa baginya 9 bulan ini. Semata-mata untuk mencari uang bersalin. Ditambah anak sulungnya sudah kelas 4 sekarang. Tentu beban pikirannya bertumpuk seperti bata tiap harinya.
Pandai besi sempat digeluti kirman, namun tak juga berbuah manis untuknya dan keluarga. Kembali ia harus berpikir mencari rupiah. Dan kini sumbernya di usik preman kampung, Broto.
“Saya janji tanah mbah ini enggak akan jadi jalan, saya yang urus, tapi saya juga butuh modal untuk mengurusinya,” tawar Broto di balai desa, ketika para petani dipusingkan kisruh ini.
Broto memperkerjakan Widodo, Bagus, dan Rahman untuk mengumpulkan uang. Ia menyebut mereka “asisten saya.” Mulanya warga percaya padanya, namun setelah ia gunakan uang itu untuk beli miras dan main cewek di kampung sebelah, tentu warga tak lagi sudi memerikan upeti.
Broto tak habis akal, sudah kepalang enak dapat upeti, ia gunakan jalan pedang untuk lebih menakutkan. Kemarin saja seorang petani di buangnya ke sumur dekat gubuk. Tentu Kirman tau ia pelakunya, namun belum juga berani menentangnya.
Sementara Widodo masih serba bingung, karena ia dulunya penjahit dan tak sering lihat darah -kecuali darah tertusuk jarum. Petani kemarin bukan lah korbannya, Bagus yang main tusuk petani itu. “Sudah mas, jangan kamu lanjutkan, toh ya kamu tahu itu uang haram,” ia ingat betul seruan istrinya tadi pagi.
Berlalu lah ketiga pria itu, serta perasaan bedosa Widodo yang tak urung hilang. Sementara Kirman yang juga cuman bisa rebahan menahan emosi.
“Wis, kamu tak perlu cabut nyawa mereka, mereka sama seperti kita, hanya korban, korban dari ketamankan Broto. Mending kamu buka bekal dari bojo mu itu,” ditunjuklah rantang dipojokan gubuk oleh sang kakak. Sementara tembakau barupun ikut dibakar Kirman, berusaha tenang dengan keadaan.