Ilustrasi produsen Hoax. (Ifsani/SM)
Masih ingat kasus penganiayaan Ratna Sarumpaet? Sebuah berita yang awalnya meraih simpati publik pada Ratna, yang kemudian menjadi boomerang dan mengirimnya ke meja hijau. Kasus tersebut sontak menjadi perbincangan khalayak, bahkan tokoh seperti Amien Rais, Hanum Salsabila Raies, Rocky Gerung hingga Calon Presiden Prabowo Subianto sempat terperdaya dengan kabar tersebut. Kasus tersebut merupakan satu dari 997 narasi Hoax lainnya pada tahun 2018 lalu.
Produktifitas dan persebaran Hoax memang semakin marak di Indonesia. Dilihat dari data kasus yang ditangani oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), dari Januari hingga April 2019 jumlah narasi Hoax sudah setengah dari jumlah narasi Hoax tahun 2018 atau sekitar 500 narasi Hoax. Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan faktor utama yang menjadi alasan kenaikan jumlah narasi Hoax di tahun 2019.
Apa itu Hoax? Kata Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Hoax itu mengandung makna berita bohong atau berita tidak bersumber. Dari hasil wawancara Suara Mahasiswa dengan Santi Indra Astuti selaku Ketua Komite Penelitian dan Pengembangan Mafindo, memaparkan ada tiga syarat informasi mengandung Hoax yaitu, misleading information, sengaja didesign, dan ketidakbenaran yang seolah-olah adalah kebenaran.
Santi, yang juga merupakan dosen Fikom Unisba, menjelaskan bahwa dalam pembuatan dan tersebarnya Hoax ada kepentingan yang dibawa didalamnya, kepentingan itu secara umum dikategorikan menjadi lima macam motif, yakni Moneytiasi (Industri menghasilkan uang), Ideologi, Agama, Eksis/Viral dan Iseng.
Bahkan, Satu Hoax bisa terdiri dari satu hingga beberapa motif sekaligus. Santi mengumpamakannya dengan kabar Hoax yang berkaitan dengan bencana alam. “Berawal dari orang – orang iseng kemudian dimanfaatkan oleh orang orang dengan niat tertentu. Seperti kalau ada gempa atau tsunami, Hoax mengenai adanya susulan, sehingga bisa berlanjut sampai ke penjarahan.” ujarnya saat ditemui di ruang akademik Fikom pada Senin(22/04).
Kemudian Ia menjelaskan apa saja cara yang dilakukan untuk memverifikasi kebenaran suatu berita, yaitu;
Melihat apakah media tersebut terdaftar di Dewan Pers atau tidak
Karena media online terutama yang membuat berita bohong tidak akan mendaftarkan dirinya ke Dewan Pers. Banyak media online yang belum terdaftar di Dewan Pers dan tidak mau mendaftarkan dirinya. Itu merupakan sebuah warning karena Media tersebut mempunyai potensi besar sebagai penyebar Hoax.
Dilihat dari cara media tersebut merumuskan berita
Cara penulisan dari judul sampai isi berita biasanya akan berisi kalimat sugesti dan paranoid. Tidak hanya itu, didalamnya akan membesarkan nama client tertentu. Memakai ilmuwan yang tidak relevant bahkan tidak bisa dipastikan kredibilitasnya.
Identitas media yang tidak jelas
Dalam media online ketika diklik about us, Identitas media nya tidak tercantum. Dari mulai alamat, redaksi dan sebagainya. Hal ini menjadi penilaian tersendiri untuk menilai kredibilitas media tersebut.
Santi menyarankan para pembaca harus bersikap skeptis terhadap semua informasi yang diperoleh, karena saat ini semua informasi yang tersebar tidak semua dapat dipastikan kebenarannya. Ditambah tingkat literasi masyarakat Indonesia yang memang rendah dan akan menjadi sasaran empuk untuk terjerat Hoax.“Setiap orang harus skeptis dan memiliki kemampuan fact cheking, jangan malas. Kalau sulit untuk fact checking sendiri, bisa merujuk pada google atau ke teman lain yang tahu. Kalau misalnya ragu, tidak usah disebarkan. Cukup berhenti aja didirinya sendiri. Don’t share, “ ujarnya.
Annisa Nurizki Fitri, seorang mahasiswi Fikom Unisba, berpandangan jika rendahnya literasi masyarakat di Indonesia adalah faktor utama rentannya terjerat Hoax, ditambah sebagian masyarkat sering latah dan menelan mentah–mentah informasi yang didapat. ”Harusnya kan di cek dulu, dipastikan dan dicari lagi sumber lain.” Tutup Annisa.
Reporter: Verticallya Yuri/SM
Penulis: Verticallya Yuri/SM