Para aktor dan aktris sedang berperan sebagai badut dalam salah satu adegan di drama teater Kabaret Ungu yang berjudul “Siapa Yang Gila ?”, bertempat di Teater tertutup Dago Tea House, Sabtu (17/9). Tak hanya kutukan, berbagai persoalan yang rumit pun datang dalam klan tersebut. (Sugiarto/SM)
Suamahasiswa.info, Bandung – Angin Sabtu (17/9) malam itu berhembus dingin dan cukup kencang, menemani orang – orang yang menuruni di Jalan Bukit Dago Selatan 53A Bandung. Mereka bergerak beriring menuju gedung Dago Tea House, tempat pementasan ‘Siapa yang Gila?’. Yaitu, sebuah pementasan drama musikal dari Kabaret Ungu yang bertemakan Skizofrenia.
Lampu dalam ruangan secara tiba-tiba mati, yang menandakan pementasan akan dimulai, lalu setelah berpendar redup muncul sebuah boneka badut di tengah panggung. Tak lama, keluar seorang gadis yang mengambil lalu bercanda dengan boneka bernama Hamwa itu.
Tak lama, muncul beberapa badut yang menari serta bernyanyi riang gembira. Setelah para badut selesai beraksi, tetiba muncul sekelompok orang berstelan necis dengan senjata di tangan. Mereka (baca-sekelompok orang berpenampilan necis) mulai menembak membabi buta ke arah badut–badut. Rupanya orang–orang itu anggota dari sebuah keluarga mafia. Dikepalai seorang tuan yang berambut gondrong dengan kumis menghiasi wajahnya, tak lepas yang ditemani oleh istri serta anak gadis perempuannya.
Saat si keluarga itu sedang berkumpul yang sibuk dengan diri masing–masing. Tiba-tiba datanglah tiga orang pria yang tak dikenal yang meculik si anak. Mereka baru sadar saat mendengar teriakannya, lalu bergegas mengejar dan berhasil menangkap para penculik. Saat tertangkap si penculik bilang kepada si tuan, bahwa suatu hari nanti akan datang seseorang untuk menghancurkan keluarga tersebut. Dan, orang tersebut merupakan salah seorang anggota famiglia itu.
Tak hanya kutukan itu, berbagai persoalan yang rumit pun datang dalam klan tersebut. Dimulai dari perselisihan antara si nyonya dengan si tangan kanan. Hingga si tuan yang ternyata seorang homoseksual dan menaruh hati kepada tangan kanannya sehingga jarang memperhatikan anaknya serta ibunya.
Lalu, si anak yang kerap menarik diri dari lingkungan yang memilih bonekanya sebagai teman bermain dan bercerita. Boneka itu hidup, berbicara dan bergerak bagai manusia. Ia menjadi tempat curahan hati si anak, juga penyaran bagi si anak. Puncaknya, saat semua masalah menumpuk si boneka menyarankan si anak untuk menghabisi si tuan dan si nyonya.
Lampu yang menyoroti pentas tetiba meredup, saat kembali bersinar terlihat si tuan dan nyonya terduduk dengan tangan terikat dan kepala disarungi penutup. Dimulai dari si tuan, si anak berbicara mengenai pesan yang pernah disampaikan oleh tuan kepada anak, “Kalau kita tidak membunuh, kita yang dibunuh,” ucapnya.
Lalu dipenghujung kalimat tersebut ia merobek batang leher si tuan sembari tertawa lepas. “Hahahahahhah,” tawa puasnya. Lalu si nyonya, duduk pasrah menanti nasibnya sendiri, si anak berbicara mengenai apa yang pernah dilakukannya kepada si anak. Kemudian tak lama ia kembali melesakkan pisau ke dalam leher si nyonya merobek aliran deras darah yang mengalir melewati arteri, dan membuncah segar keluar dari sirkulasi.
Pentas berakhir dengan pertanyaan yang diajukan si anak kepada penonton, “Siapa yang gila? Saya atau kalian?” Tutupnya dengan mata tajam.
Pentas yang digelar ini merupakan bukti dari usaha keras para kru beserta pemeran yang sudah berlatih, ucap Hendri Prakoso salah seorang penonton yang kebetulan salah satu dosen di Fakultas Psikologi. Tak hanya itu, koreografi serta musik menjadi bagian unggulan dari pagelaran ini, serta totalitas pemain tidak diragukan lagi menurutnya.
Menurut dosen yang mengajar mata kuliah Psikologi Abnormal tersebut, skizofrenia bila diobati dapat disembuhkan. Namun, tekanan sosial yang diterima pasien saat sembuh bisa menjadi beban bagi mereka dan beresiko menumbulkan kembali skizofrenia. Pasien pun tidak dapat pulih seperti sediakala. (Vigor M. Loematta/SM)