
Diskusi buku "kekerasan budaya pasca 1965" yang dihadiri oleh Wijaya Herlambang sebagai penulis buku tersebut dan Martin suryajaya sebagai komentator pada hari Minggu (02/03) di gedung Indonesia menggugat, Bandung. dalam buku tersebut menjelaskan tentang kekerasan budaya di indonesia yang terjadi dari jaman dahulu hingga sekarang.
Diskusi buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965” yang dihadiri oleh Wijaya Herlambang sebagai penulis buku tersebut dan Martin suryajaya sebagai komentator pada hari Minggu (02/03) di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. dalam buku tersebut menjelaskan tentang kekerasan budaya di Indonesia yang terjadi dari jaman dahulu hingga sekarang.
Suaramahasiswa.info, Bandung – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyelenggarakan sebuah acara peluncuran dan diskusi buku dengan tema “Kekerasan Budaya Pasca 1965.” Event ini membahas bagaimana orde baru melegitimasi anti komunisme melalui sastra dan film. Diskusi ini diselenggarakan pukul 15.30WIB di Gedung Indonesia Menggugat Bandung, pada Minggu(2/3).
Acara ini sangat penting dikarenakan banyaknya generasi muda tidak mengetahui tentang sejarah. Apabila berbicara mengenai tahun 1965 yang teringat hanyalah peristiwanya bukan dampaknya. Hal ini diperjelas oleh Bilven selaku panitia, “saya rasa ini perlu disebarluaskan, karena dalam diskusi ini kita akan jadi tahu mana film yang dapat memotret kenyataan orde baru,” ujarnya.
Dalam diskusi ini tentunya hadir Wijaya Herlambang sebagai penulis buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965”. Wijaya mengaku prihatin dengan kondisi masyarakat yang menganggap komunisme sebagai kekuatan yang jahat. Oleh sebab itu, ia tergelitik untuk membahas lebih jauh mengapa masyarakat membenci atau takut terhadap komunisme.
Namun, ada beberapa orang yang mengkritik isi dari buku tersebut. Mereka beranggapan bahwa ada konteks seperti kata ‘kebebasan’ itu kurang jelas dipahami. Salah satunya ditutukan oleh Martin Suryajaya yang turut hadir menjadi pembicara dalam acara tersebut, “kata kebebasan itu harus dijelaskan apakah itu bernilai positif atau negatif, memiliki nilai atau prasyart nilai-nilai,” ucapnya.
Menurut Wijaya dengan melihat kenyataan komunisme masih ditentang kuat, dan yang terjadi di negara ini adalah ekonomi krisis. Dasar pembangunan dari Orde Baru sampai sekarang adalah utang, dan bisa disebut negara ini sudah dijual. Ia pun menyebutkan bahwa kekerasan budaya dapat dialami oleh siapa saja, “saya harap setiap orang dapat mengontrol budaya mereka dengan sadar ,” paparnya.
Acara ini berlangsung dengan lancar dan bisa dikatakan sukses, karena antusias peserta sangat banyak. Bilven mengaku hal ini dikarenakan tema yang diambil, judul buku yang didiskusikan juga isu yang diangkat dalam diskusi ini. Ia juga berharap agar kedepannya generasi muda lebih banyak pengetahuan akan sejarah dan dapat melihat kenyataan di orde baru.
Senada dengan Bilven, salah satu peserta diskusi Mukhlis S mengaku tahu acara ini dari facebook. Ia sangat senang dapat hadir mengikuti rangkaian kegiatan yang sangat luar biasa. Menurutnya sebagai generasi muda, sejarah itu sangat penting—kita harus lebih hati-hati dalam memilih informasi, tidak terpaku pada internet yang mungkin menyediakan informasi yang salah. “Kita yang belum lahir di tahun 60-an harus dapat memilah informasi yang faktual mengenai realita yang terjadi jangan sampai kita dibodohi” ujarnya.(Intan/SM)