
Aktivis dan Pegiat HAM saat aksi Kamisan di depan Kompleks Istana Presiden, Jakarta pada Kamis, (4/10/19) lalu. (Sumber: Kompas.id)
Suaramahasiswa.info, Unisba- Berakhirnya Bulan September, memutar kembali serangkaian peristiwa yang terjadi di bulan ini. Termasuk maraknya kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, hingga muncul sebutan September Hitam.
Bermula dari pelanggaran HAM yang terjadi pada rentang tahun 1965-1966, Tragedi Tanjung Priok pada 12 september 1984, hingga pembunuhan Munir Said Thalib seorang pejuang HAM pada 7 september 2004. Meskipun tragedi tersebut sudah lama terjadi, namun pelanggaran HAM belum terselesaikan dan masih berlangsung hingga kini.
Terbukti, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Agustus mencatat bahwa setidaknya 3.337 orang ditangkap pada periode 25 – 31 di 20 kota yang ada di Indonesia. Selain itu, 1.042 orang mengalami luka-luka, tujuh orang hilang, dan sepuluh orang meninggal dunia akibat kekerasan aparat.
Tidak hanya itu, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Komjen Syahar Diantono dalam konferensi pers pada Rabu, (24/9) lalu ungkap total tersangka terkait kerusuhan pada aksi demonstrasi Agustus hingga September sebanyak 959 orang yang terdiri dari 644 orang dewasa dan 295 lainnya dibawah umur. Ironisnya, dalam hotline yang dibuka oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mendapati bahwa penetapan tersangka tersebut tanpa barang bukti yang cukup.
Di wilayah Jawa Barat (Jabar) sendiri, Tim Advokasi Bandung Melawan mengungkap sebanyak 1.500 orang ditangkap Kepolisian Daerah (Polda) Jabar dengan sewenang-wenang. Parahnya, mereka tidak diberi hak untuk didampingi kuasa hukum sesuai dengan pilihannya serta mendapatkan penyiksaan selama investigasi.
Lebih lagi, aksi demonstrasi pada 25 Agustus-5 September berjalan diiringi dengan maraknya represifitas aparat. Pihak kepolisian pun menyita buku yang memuat paham marxisme dan anarkisme sebagai bukti kerusuhan demonstrasi. Penyitaan ponsel, laptop, serta tiga buku milik pegiat literasi juga dilakukan karena dianggap mengelola sejumlah akun yang berisi ajakan anarkis saat demonstrasi.
Menurut Fatahillah Akbar salah satu Dosen Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), mengungkapkan bahwa sesuai Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) barang bukti harus memiliki relevansi langsung dengan tindak pidana. Sedangkan, buku hanya memberikan inspirasi dan tidak memenuhi unsur hubungan langsung.
Bukan hanya itu, penertiban demonstrasi oleh aparat seperti pelemparan gas air mata ke lingkungan kampus Universitas Pasundan (Unpas) serta Universitas Islam Bandung (Unisba) yang menjadi tempat evakuasi korban cenderung berlebihan dan mencederai kebebasan akademik di lingkungan pendidikan. Kejadian ini pun mengakibatkan beberapa massa aksi serta tiga orang satpam kampus menjadi korban.
Kondisi kampus yang seharusnya menjadi menjadi ruang aman bagi mahasiswa justru berubah mencekam akibat pelemparan gas air mata. Akibatnya, mahasiswa menjadi cemas untuk beraktivitas di lingkungan kampus.
Tindakan represif oleh aparat tidak seharusnya dilakukan karena melanggar kebebasan berekspresi masyarakat terutama di lingkungan akademik. Aparat yang seharusnya menjadi penegak hukum justru menyalahi prinsip hukum pidana hingga mengabaikan akar persoalan. Demokrasi Indonesia pun akan memudar dan dapat memperburuk kepercayaan publik terhadap peran Polisi Indonesia (Polri).
Penulis: Sopia Nopita/SM
Editor: Adelia Nanda Maulana/SM