Ilustrasi Ubermensch. (Ifsani Ehsan F/SM)
…Tuhan sudah mati!
Sebuah penggalan kalimat dari buku “Nietzsche Sabda Zarathustra” karya salah satu filsuf yang paling banyak digemari anak muda yang baru belajar filsafat, Friedrich Nietzsche (1899-1900). Banyak anak muda mempelajarinya, karena terkenal sebagai pemikir pemberontak yang melawan segala bentuk kemapanan dan tradisi. Dengan kecenderungan seperti itu, sesuai dengan jiwa anak muda yang biasanya progresif, revolusioner, dan anti-tradisi. Meskipun begitu bagi sebagian orang cukup kesulitan dalam memahami pandangan seorang Nietzsche.
Martin Suryajaya menyebutkan dalam buku Sejarah Estetika-nya, bahwa salah satu yang mempersulit kita untuk mengerti pandangan Nietzsche secara jelas dan terpilah-pilah adalah kecenderungan Nietzsche sendiri untuk berubah-ubah pikiran. Tak kurang ada lima posisi yang terkandung dalam pemikiran Nietzsche secara silih berganti. Kelima fase tersebut terdiri dari fase awal: karya The Birth of Tragedy (1872), fase positivis: karya Human, All Too Human (1878), fase matang: karya The Gay Science dan Thus Spoke Zarathustra (1883-1886) dan fase akhir: karya Twilight of the Idols (1888).
Dalam kerangka pertanyaan yang menjadi pembimbing keseluruhan riwayat hidup intelektualnya seperti, apa sumbangan seni terhadap hidup? Apa yang diungkapkan seni tentang hidup? Kehidupan macam apa yang diungkapkan oleh sebuah karya seni? Memiliki kesamaan nada dasar dengan Schopenhauer, seorang filsuf dari Jerman. Dalam kerangka ini juga lah Nietzsche memilah dua bentuk seni yaitu seni yang bagus adalah seni yang meningkatkan daya hidup, yang memupuk kehendak, sementara seni yang jelek adalah seni yang menghambat daya hidup dan memupuskan kehendak.
Hutang intelektual Nietzsche pada Schopenhauer juga terletak pada keyakinan bahwa hakikat kenyataan terletak pada kehendak. Disini semangat Nietzsche berbeda dengan Schopenhauer, yang mana Schopenhauer mencari solusi untuk mengakhiri samsara (lingkaran pengulangan tanpa henti) kehendak melalui seni. Sedangkan Nietzsche justru mencari solusi untuk meningkatkan akumulasi kehendak dalam seni; mengatakan ya pada kesia-siaan hidup daripada lari menuju kepercayaan tentang penebusan pada hari akhir. Seni memungkinkan manusia menanggungkan hidup yang penuh penderitaan ini dengan penerimaan yang penuh suka cita.
Paradigma Seni
Salah satu karya gamblang yang tertuju pada kajian estetika adalah karya pertamanya yang berjudul The Birth of Tragedy from the Spirit of Music. Dalam karya tersebut, Nietzsche menunjukan bahwa ada dua bentuk artikulasi atau paradigma seni yang saling berkemelut, yakni paradigma Apollonian dan Dionysian. Beberapa perbedaan paradigma antara Apollonian dan Dionysian, yang mana bentuk narasi Apollonian biasanya berbentuk epik, sedangkan Dionysian berbentuk tragedi. Apollonian pun menyajikan pengalaman berupa kesenangan dengan kategori estetis keindahan, sementara Dionysian menawarkan pengalaman kemabukan dengan kategori estetis berupa kesubliman.
Dalam kerangka Apollonian, seluruh pengalaman negatif seperti penderitaan, kejahatan, dan kemalangan ditanggung sekaligus dilampaui dalam pengalaman keindahan. Nietzsche juga menunjukan bahwa paradigma Apollonian adalah paradigma ilusi. Di hadapan kegamblangan penderitaan, keindahan menawarkan ilusi yang menyenangkan. Seni Apollonian menyajikan ilusi tentang keindahan sebagai obat kemalangan hidup. Sedangkan dalam paradigma Dionysian, pengalaman estetis tampil tidak sebagai rasa senang memandang keindahan, tetapi rasa takjub menatap yang sublim. Perasaan sublim ini dekat dengan pengalaman memabukan yang dicontohkan Nietzsche dalam festival-festival musik yunani klasik. Kalaupun ada yang nikmat dari tragedi, bagi Nietzsche, kenikmatan itu tidak lepas dari rasa ngeri.
Menurut Martin Suryajaya, ada kecenderungan dalam mengartikan seolah Nietzsche lebih mengutamakan seni Dionysian daripada Apollonian. Alasannya kerap kali hanya karena adanya kesan bahwa Nietzsche adalah seorang pemberontak yang anti-kemapanan sehingga lebih cocok dengan corak Dionysian. Padahal keduanya, seperti yang disebut Nietzsche sendiri, “senantiasa memancing satu sama lain”. Sejarah estetika sama-sama dibentuk, dan diombang-ambingkan, oleh kedua dorongan tersebut.
Pemikiran estetika Nietzsche sendiri sempat diombang-ambing antara kedua paradigma tersebut. Dalam karyanya Human, all Too Human, Nietzsche mengadopsi sudut pandang Dionysian yang mencari sudut pandang keabadian. Dia mencela seni sebagai ilusi yang terus menerus dikonsumsi karena orang-orang terlalu lemah dan pengecut untuk menghadapi kenyataan. Dia mencampakkan segala ilusi dan ingin segera menatap keabadian, kehendak untuk berkuasa mengeram di balik semua gejala; dia membabat sisi Apollonian.
Metamorfosis Kehendak
Dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche beralih ke paradigma Apollonian. Disinilah mengemuka buah pemikiran tersohor dalam Zarathustra tentang tiga metamorfosis kehendak, yaitu:
Fase unta: Kehendak menerima segala bentuk beban eksistensinya secara pasif dan menerima nilai-nilai moral yang termuat dalam beban tersebut. Fase singa: Kehendak menolak segala bentuk beban yang dilimpahkan padanya dan menolak nilai-nilai moral yang diwajibkan padanya. Fase anak-anak: Kehendak mengiyakan semua beban hidup secara aktif dengan mencipta nilai-moral yang baru yang setiap saat dapat ditinggalkan dan dicari gantinya.
Fase tertinggi kehendak itu ialah fase anak-anak, dimana sikap afirmatif terhadap hidup dibarengi dengan kreativitas dan keterbukaan pada nilai-nilai baru. Sosok anak-anak disini adalah metafora dari manusia unggul (Ubermensch) yang tak lagi terjebak pada pengiyaan pasif seperti budak maupun penolakan seperti singa, tetapi berani mengiyakan semua secara aktif dan mencintai nasib (Amor Fati). Lalu afirmasi ini diwujudkan melalui penilaian ulang seluruh nilai (Umwertung Aller Werte). Dengan semua ini, karakter Apollonian Nietzsche mengemuka sepenuhnya.
Gaya filsafat Aforisme Nietzsche sebenarnya diberikan kebebasan untuk tidak bergantung pada premis-premis yang ada dalam menafsirkan tulisannya. Singkatnya, kehidupan di dunia ini bukan hanya sebagai jembatan belaka menuju kehidupan selanjutnya, karena di dalamnya terdapat dinamika-dinamika yang harus diikuti. Cinta, sedih, bahagia, dan perasaan lain yang terdapat di dalamnya adalah hiasan yang membuat kehidupan ini tidak biasa-biasa saja.
Pada akhirnya, gagasan pemikiran Friedrich Nietzsche memang terkesan membingungkan bagi sebagian orang. Martin Suryajaya menegaskan bahwa kecenderungan Nietzsche sendiri untuk berubah-ubah pikiran. Karena dasarnya berpikir adalah sebuah proses pencarian kebenaran, yang mana akan selalu ada kebenaran baru yang dapat ditemukan. Seperti halnya menurut Nietzsche bahwa kebenaran itu tidak ada dan jikapun ada yang menganggap merupakan sebuah Fanatisme.
Penulis : Tsabit Aqdam Fidzikrillah/Job
Editor : Eriza Reziana