Suasana liminal space Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang membuat kita merasa asing karena terlihat sepi dan kosong dari biasanya. (Foto: Adzkiyaa Ardhinissa/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba– Proses transisi seringkali menimbulkan perasaan hampa, terasing dan menakutkan. Peralihan tersebut selalu memberikan kesan ketidaknyamanan dan perasaan yang aneh, namun hal ini bukan berarti seseorang sedang memasuki aktivitas supranatural, dalam konsep psikologi kondisi seperti ini disebut dengan liminal space.
Liminal space berasal dari bahasa latin “limen” yang berarti ambang. Melansir dari Forbes.com, liminal space mengacu pada sebuah tempat dimana seseorang berada dalam periode transisi. Singkatnya ruang liminal adalah ruang yang berada di ambang perbatasan. Kondisi ini dapat dilihat berdasarkan wujud yang tampak seperti ruang penghubung antara dua tempat.
Sementara itu, liminal space memiliki beberapa tipe, diantaranya physical liminal space atau yang bersifat fisik, dan emotional liminal space yang bersifat non-fisik. Ruang liminal yang bersifat fisik sering kita jumpai sebagai bentuk dan gaya arsitektur yang kita lihat. Sedangkan ruang liminal yang bersifat non-fisik lebih menjelaskan pada transisi emosional seseorang yang dibenturkan dengan perubahan besar dalam hidupnya.
Tanpa kita sadari, dalam kondisi ini manusia sering mengalami ketakutan dan kegelisahan. Liminal space dapat membuat seseorang tidak nyaman karena ketidaktahuannya dalam melihat realitas.
Lorong kampus dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di malam hari, kematian orang yang dicintai, pubertas hingga perceraian seringkali menjadi contoh dari liminal space yang ada. Hal tersebut terjadi karena perbedaan mendefinisikan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Contoh-contoh di atas memberikan kesan aneh dan tidak nyaman karena seseorang seakan berada pada kenyataan atau realitas yang lain.
Mengutip dari VerywellMind.com, kegamangan, ketidakpastian, dan kebimbangan yang terjadi pada fase liminal space berisiko memicu stres, rasa cemas berlebih, depresi, hingga keinginan untuk mengakhiri hidup. Lebih dari sekadar ketakutan akan ketidakpastian, ketakutan bahwa seseorang tidak akan memiliki sumber daya emosional untuk mengatasinya dan membawa seseorang pada penggunaan narkoba atau melukai diri sendiri.
Hal tersebut menjadi salah satu efek buruk dari pencarian distraksi akibat dari liminal space ini. Namun, menyadari akan keberadaannya dalam diri dan menerima perubahan transisi dari masa lalu ke masa yang akan datang cenderung akan memberikan dampak pada perasaan yang lebih nyaman.
Sisi positifnya, liminalitas dapat menjadi ruang mental bagi peningkatan keberanian. Meskipun ruang ini tidaklah nyaman, liminal space dapat bersifat transformatif dan penguatan untuk membantu penyadaran seseorang terhadap potensi dan tujuan dengan cara yang tidak terduga.
Dengan mencoba menaklukan diri sendiri dan menaruhkan harapan penuh untuk menjelajahi liminal space ini menjadi peluang untuk berkembang. Maka, hasil baiknya adalah seseorang bisa keluar dari zona nyaman dan melakukan eksplorasi dalam hidup.
Intinya, liminal space bukanlah suatu hal yang harus ditakuti. Membiasakan berpikir positif ketika berada dalam ruang batas ini akan menciptakan rasa nyaman pada diri sendiri dan menganggap bahwa liminal space bukanlah sesuatu yang menyeramkan lagi.
Penulis: Fikri Rizal Naufal/SM
Editor: Muhammad Irfan/SM