Foto: Dokumentasi Suara Mahasiswa
Suaramahasiswa.info – “Membaca ialah upaya merangkai makna, ikhtiar untuk memahami alam semesta. Itulah mengapa buku disebut jendela dunia yang merangsang pikiran agar terus terbuka,” -Najwa Shihab-
Begitulah yang diungkapkan perempuan yang menjadi duta baca Indonesia ini. Ya membaca buku bukan hanya sebagai jendela dunia dan merangsang pikiran saja tapi dapat pula menghantarkan kemajuan sebuah bangsa. Semisalnya saja dinasti Ab Basiyah yang menurut sejarawan Henry S Lucas, kekhalifahan ini merupakan periode yang paling makmur dalam sejarah umat manusia.
Kala itu Islam dipimpin Khalifah Al Ma’mun dan Harun Ar Rasyid yang mendorong penulisan juga menterjemahkan buku-buku dari Yunani. Mereka membangun banyak perpustakaan. Di Baghdad saja, tercatat tujuh puluh perpustakaan dan beberapa diantaranya memiliki buku hingga 500.000 buah.
Semasa itu pun banyak para ilmuan dan filsuf yang lahir. Sebut saja salah satu diantara mereka Ibnu Rusyd seorang filsuf yang terkenal dengan rasionalitasnya, An Nafis penemu sirkulasi darah, Ibnu Haitam bapak optik, Ar Razi penemu obat cacar, Al Farabi si ahli musik, Al Bathani ahli astronomi, Ibnu Khaldun bapak ilmu sosial.
Lain halnya dengan sekarang, di Indonesia kini buku rasanya semakin tidak menarik bagi banyak orang, dibanding gadget. Mirisnya beberapa waktu lalu di Telkom University lapak buku yang dibuka mahasiswa dibredel oleh pihak rektoratnya. Diceritakan bahwa dalam lapaknya ada beberapa buku kiri yang katanya mengkhawatirkan hingga harus menskorsing tiga mahasiswanya.
Aneh memang, Islam saja pada dinasti Ab Basiyah pun peradaban lainnya, tidak pernah menutup jendela ilmu dari pihak manapun. Kita ketahui jika Islam dulu banyak pula belajar dari Yunani, Romawi, Persia, India dan Cina tanpa memperhatikan ideologi, ras, suku dan agama. Bahkan Eropa yang dikatakan sebagai pusat peradaban zaman ini, di abad ke-12 mulai belajar pada Islam hal ini diungkapkan oleh Robert Briffault dalam bukunya The Making of Humanity.
Sejarah juga telah membuktikan jika buku terkadang dirasa berbahaya oleh para pemilik kepentingan hingga tak dapat dipungkiri jika librisida dari masa ke masa selalu terjadi. Kita bisa menjumpai sejarah masa Cina kuno ketika raja Zhao Zheng menghancurkan banyak buku yang mengkritik kekaisarannya. Atau di Romawi kuno kita bisa temukan Kaisar Agustus yang melakukan hal serupa, juga masih banyak fakta lain yang telah tertulis dalam sejarah terkait penghancuran buku ini.
Ada saja golongan yang memilih menghancurkan buku, dan merampas gagasan. Kenapa buku sampai harus dihancurkan? Sayangnya saat sejarah menunjukan sebuah buku dapat memajukan suatu peradaban, generasi muda masih tak mau melirik buku. Atau karena memang tidak tahu? (Ressy/SM)