Suaramahasiswa.info, Bandung – Berawal dari kesenangannya dengan logam dan benda tajam, mengantarkan Ibnu, Pria lulusan S2 Seni Rupa ITB ini untuk menggeluti senjata tikam pendek berujung runcing dan tajam bernama keris sejak tahun 1999. Untuk mendalami hobinya ini, Ibnu singgah ke kota Solo untuk belajar Kristomologi dan mulai mendalami Kujang sebagai senjata khas Jawa Barat. Baginya, menekuni proses pembuatan Kujang bukan sekedar memahami konsep tradisi tetapi menjadi bagian untuk berbakti kepada negeri.
Tidak pernah terbesit dalam pikirannya untuk menjual hasil karyanya, karena Ibnu menekuni penempaan logam ini dengan kecintaannya pada negeri.
Agar penempaan Kujang ini diterima oleh masyarakat, mulai lah Ibnu membentuk komunitas Pijar. Pijar merupakan salah satu proses penempaan yaitu dengan menyatukan berbagai unsur logam. Ibnu berharap komunitas ini bisa mewadahi masyarakat yang memiliki latar belakang berbeda. Bukan sekedar menempa besi tapi juga menempa kalangan masyarakat. Dengan mempertahankan tradisi leluhur kita sebagai akar bangsa.
Bangsa Indonesia itu memiliki peradaban yang tinggi. Memiliki kultural dengan bahasa non verbal yang beragam. Seperti halnya sesajen. Berasal dari kata silih ajen, yaitu saling memberi petuah dan pengkajian. Sesajen merupakan media dalam menyampaikan nilai leluhur.
Nilai-nilai dalam pusaka adalah nilai leluhur yang mengadung energi kebaikan. Banyak masyarakat yang menganggap pusaka kujang sebagai sesuatu yang klenik. Mengkaitkan benda sakral tersebut dengan mitos-mitos yang berkembang di masyarakat. Bahkan, benda ini nyaris disebut “sesat”. Anggapan tersebut muncul karena perlakuan Keris dan Kujang yang harus dimandikan oleh air dan kembang tujuh rupa. Padahal, memandikan benda pusaka, berarti membersihkan seperti halnya diri manusia yang tidak luput dari dosa.
Kembang tujuh rupa, memiliki makna kebaikan. Kandungan madu yang ada di setiap bunganya, mampu menghilangkan toksin dan bakteri yang berada pada benda pusaka.
Menyan. Aromanya yang tersebar untuk mengurangi kadar air di dalam logam. Asapnya meresap ke dalam lapisan logam dimaksud agar tidak mudah berkarat. Kujang dalam kaidah keilmuan termasuk ke dalam kategori Wesi Aji atauTosan Aji. Kedudukan tosan aji berada diatas senjata dan perkakas. Tosan Aji menurut berbagai sumber, mengandung pengertian dasar besi yang dimuliakan , diagungkan atau disakralkan.
Kujang dan berbagai jenis tosan aji lainnya diciptakan dalam waktu yang lama, bahkan ada yang diciptakan hingga memakan waktu bertahun-tahun. Hal ini sebuah bukti sejarah bahwa Kujang diciptakan untuk kepentingan fungsi Simbolis, dimana Nilai-Nilai luhur ditanamkan di dalam perupaannya.
Kujang bagi orang Sunda merupakan piandel atau berfungsi sebagai penguatan karakter atau jati diri juga sebagai sebuah perlambang bagi manusia Sunda yang sudah memiliki ageman atau disiplin ilmu tertentu. Kujang berfungsi pula sebagai simbol dari etika /atikan Sunda dan estetika/anggitan Sunda.
Baja, besi dan nikel menjadi bahan utama dalam proses pembuatan Kujang. Tempat untuk membuat benda-benda tajam dari bahan logam besi-baja, baik kudi, golok, sunduk, pisau, dan sebagainya. Dikenal dengan sebutan Gosali, Kawesen, atau Panday. Tempat khusus untuk membuat (menempa) perkakas kujang disebut Paneupaan.
Hal pertama yang harus dilakukan yaitu proses mitembean (mengawali) atau memulai. Istilah dalam bahasa sunda lainnya yaitu bubuka. Diawali dengan tembang-tembang yang dilantunkan dalam bentuk doa. Diiringi kacapi suling sebagai perwujudan dari niat.
Kacapi mewakili petuah-petuah. Dawai dari kacapi menggetarkan hati. Getarannya sebagai suara yang mudah diserap oleh alam. Suling, nafas yang dihembuskan sebagai perwakilan saat tuhan meniupkan ruh pada manusia. Di dalamnya terdapat 7 lubang suara, perwujudan dari 7 lubang yang terdapat pada tubuh manusia.
Keselarasan musik yang dilantunkan tentu tidak boleh sumbang. Sumbangnya lantunan bukan karena kesalahan melainkan belum selaras. Ini menganalogikan, bahwa manusia dalam memahami diri, tuhan dan alam harus diselaraskan.
Benda pusaka Keris dan Kujang, bukan sekedar membuatnya, melainkan proses dalam memaknai nilai-nilai beradab yang harus disampainkan.
Proses kedua setelah upacara, yaitu membentuk pamor. Berupa garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang atau disebut Sulangkar danTutul. Pada dasarnya, pamor merupakan proses pencampuran unsur melalui pelipatan dan pemijaran.
Proses terakhir yaitu upacara penutup. Dimaksud untuk mengingatkan kembali petuah yang telah disampaikan. Harapan dari keseluruhan proses yaitu rahayu yang berarti keselamatan. Ketajaman dari ujungnya menandakan fokus dalam tujuan kehidupan.
Perlu kesabaran dalam menekuni proses penenmpaan Kujang. Benda pusaka yang sejatinya harus dilestarikan ini merefleksikan ketajaman dan daya kritis kehidupan.(Regina Aristiana/SM)