“One good thing about music, when it hits you (you feel no pain)“, –
Bob Marley -“Trench Town Rock”
Penggalan lagu milik punggawa reggae diatas, mungkin diamini oleh banyak pecinta musik dunia. Tapi, enggak begitu menurut saya. Masih banyak orang yang menangisi sang mantan diiringi lagu-lagu kebangsaan Dewa 19 atau para pengagum rahasia yang mendengarkan Sheila on 7 sambil ngepoin Instagram gebetan. Nah, masih mau bilang you feel no pain?
Musik memang dinilai dekat dengan kehidupan semua orang. Misalnya, menemani rutinitas pagi. Ditengah-tengah keasyikan saya membunuh Rabu pagi dengan menonton sebuah band asal Inggris, The Sundays. Tiba-tiba kehebohan terjadi di ruang keluarga, suara televisi yang super serta ocehan nenek saya tentang fenomena gerhana matahari.
Hari Musik Nasional yang bertepatan dengan munculnya gerhana matahari ini, mengingatkan saya pada Pierre Rolland. Pemain utama sinetron “Gerhana” yang kharismanya bersinar bak matahari siang bolong. Bagi yang lupa-lupa ingat, silahkan bernostalgia dengan nonton episode-episodenya di youtube.
Saya merasa atmosfer perayaan Hari Musik Nasional dinilai biasa saja. Tidak ada gelaran musik bertaraf masif atau hajatan seputar tanggal ini sendiri. Hingga akhirnya, saya menyusuri portal online yang membahas sejarah Hari Musik Nasional. Menurut sumber sahabatnews[dot]com, pencetusannya direncanakan oleh presiden kelima kita, Megawati Soekarno Putri tanggal 10 Maret 2003. Penetapannya sendiri didasari oleh usulan dari Persatuan Artis, Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) yang resah akan maraknya kasus pembajakan karya-karya mereka sendiri.
Kemudian, keresahan tadi akhirnya disudahi pada tanggal 9 Maret 2013 , dipilih dan disahkan oleh presiden keenam ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono dalam keputusan presiden no. 10 tahun 2013 sebagai Hari Nasional Musik. Bertepatan dengan kelahiran pencipta lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf Supratman.
Selain seputar pembajakan karya musik, masih banyak hal-hal kecil berbuah besar yang dilakukan oleh pendengar musik masa kini. Misalnya, pengkotak-kotakan aliran musik yang sebenarnya tidak penting, munculnya kawanan-poser-yang-merasa-paling-gue dan sebagainya.
Saya pribadi, menganggap bahwa pengkotak-kotakan aliran musik adalah hal yang marak terjadi dewasa ini. Alangkah baiknya kita sebagai sesama penikmat musik untuk saling berbagi dan menghindari perdebatan omong kosong yang hanya membuahkan rasa benci satu sama lain.
Pendengar punk mengejek musik dubstep, pendengar lagu lawas dibilang enggak gaul, permusuhan antara fans Blur dan Oasis, bahkan kita kerap mengagungkan musik luar daripada musik khas negara kita sendiri.
Indonesia mesti bangga karena disorot oleh mata dunia lewat kehadiran Gerhana Matahari. Ditambah lagi, banyak pujian mengenai karya musik tanah air dari pendengar musik mancanegara. Nah, kita sebagai warganya sendiri harus turut mendukung kemajuan musik-musik lokal dengan membeli, baik rilisan fisik maupun online. Selamat Hari Musik Nasional! (Raisha/SM)