Oleh: Bobby Agung Prasetyo*
Konon, ada peribahasa berbunyi “sambil menyelam minum air”. Tapi apa jadinya kalau tak pandai menyelam, air tidak terminum, lalu mati tenggelam, wahai para organisator kampus tercinta?
Unisba kembali hidup dengan sejuta kegiatannya. Aktivitas kuliah mulai berjalan secara normal pun abnormal, sekre organisasi serta himpunan berbukaan, dan ¬anak-gaul-kampus-nan-apatis¬ masih saja hidup. Selamat datang saya ucapkan kepada mahasiswa baru; welcome to Hogwarts, School of Wizard and Wizardy.
Memang, apa perbedaan yang mencolok dari kampus kita yang sudah aktif ataupun belum? Lihat saja dari sampahnya.
Selain kegiatan-kegiatan tadi, mari kita tak melupakan ospek kampus. Kemarin saya sudah sedikit bercerita soal Ta’aruf Universitas (klik di sini) , seputar kaitan tradisi tahunan tersebut dengan perilaku ‘terpuji’ para panitia. Sekarang, coba kita lihat kegiatan fakultas dengan ospek personalnya, biasa disebut Program Pembinaan Mahasiswa Baru (PPMB). Semua fakultas melakukan program ini, dengan maksud agar mahasiswa baru dapat mengerti dan paham seputar fakultas mereka. Panitianya bukan dosen—kabar baiknya—melainkan mahasiswa.
Keuntungannya, PPMB menjadi lebih luwes, transparan, dan para senior bisa eksis dan lebih akrab dengan adik-adik barunya; asal jangan dijadikan ajang mencari jodoh. Berbicara soal kerugian, tanpa banyak berlenggang kangkung, sila klik di sini.
Kita tahu, bahwa setiap organisasi memiliki AD/ART yang (Insya Allah) jelas. Tanpa bermaksud mengetahui dapur rahasia tetangga—dan bukan ranah saya pula, pasti di sana terdapat berbagai macam aturan yang merujuk pada keterlibatan pengurus dalam satu organisasi terhadap organisasi atau kepanitiaan lain. Mengapa hal ini dicantumkan? Karena, keterlibatan pengurus suatu organisasi terhadap kegiatan lain BISA SAJA membuat proker dalam salah satu lembaga yang didiaminya jadi mengundur, pending, hingga batal. Contoh: rapat internal yang diundur, proker divisi dijeda untuk waktu yang tak menentu, atau batalnya suatu organisasi untuk bertamasya sambil mendaki gunung. No offense.
Namun, ketika suatu organisasi tak memiliki poin atau undang-undang tentang hal di atas, maka disinilah ujian bagi pengurus yang melakukan double job.
Loyalitas.
Tak masalah dan lagi-lagi bukan ranah saya, untuk ikut campur ke pilihan seseorang dalam membagi hatinya. Namun bayangkan saja: ridhokah kita, ketika Ridwan Kamil yang menjadi Walikota Bandung, tiba-tiba jadi Menteri Pembangunan? Ikhlaskah kita, ketika Jokowi selaku Presiden Indonesia terpilih 2014-2019, merangkap sebagai Kepala suatu Desa di Timor Leste?
Ini semua bukan apa-apa, cuma sebatas loyalitas; dimana kita menjelma bagai Alfred Pennyworth yang siap menutup rapat identitas rahasia Bruce Wayne a.k.a Batman, seperti Sampek yang membawa cintanya pada Engtay hingga mati lalu keduanya dilahirkan kembali menjadi kupu-kupu.
Loyalitas adalah kesetiaan, loyalitas adalah konsisten, loyalitas adalah fokus pada program kerja, loyalitas adalah anti-mangkir, loyalitas adalah sumpah yang terucap dibawah Kitab Suci. Lalu apa salahnya bekerja ganda?
Double job, blow job, hand job, atau apalah itu definisi asing bagi bekerja ganda, adalah pilihan—asal jangan rusak proker. Manusia bisa saja aktif dalam seribu kegiatan tanpa henti bagaikan robot kelinci. Tapi bicara masalah hati yang harus dibagi: cuma dia, Tuhan, dan media sosial tempatnya mencurahkan isi hati, yang tahu.
*penulis adalah Pemimpin Umum Pers Suara Mahasiswa Unisba