Peserta agenda Tamansari Melawan menonton film Jakarta Unfair di halaman depan Masjid AL-Islam pada Sabtu (14/10). Acara tersebut merupakan aksi penolakan terhadap rencana penggusuran RW 11 Tamansari oleh Pemerintah Kota Bandung yang nantinya akan di jadikan rumah susun. (Fadhis/SM)
Suaramahasiswa.info, Bandung – Sabtu (14/10) sore, tepatnya pukul 17:30 WIB, nampak kerumunan orang di depan mesjid Al Islam. Terlihat beragam lapisan masyarakat berada di sana mulai dari Mahasiswa, AJI, LBH Bandung, Walhi pun Rukun Warga 11 Tamansari yang malam itu menjadi pemeran utama pertemuan. Kabar mengenai keputusan Pemkot untuk menggusur RW 11 tamansari ini membuat geram sejumlah kalangan hingga berinisiasi membuat konsolidasi membela warga Tamansari.
Agenda yang dihadiri berbagai kalangan ini dimulai dengan konferensi pers serta diskusi hak atas tanah dan ruang hidup. Acara yang bertemakan “Tamansari Melawan”, di gelar sebagai bentuk penolakan warga atas rencana penggusuran lahan seluas 8000 meter persegi yang akan di jadikan rumah susun. Acara tersebut di buka dengan sambutan dari Ketua Forum Nanang, ia menyatakan bahwa tidak lama lagi wilayah kampung RW 11 akan di gusur oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung.
Nanang mengungkapkan jika mulanya pemerintah mencanangkan pembangunan tanpa menggusur dan memuliakan permukiman. Nyatanya, bahkan rencana penggusuran RW 11 ini dikatakan Nanang tanpa melalui proses sosialisasi terlebih dahulu.
Sekedar pelepas gundah gulana warga, agenda inipun menghadirkan hiburan. Pentas seni dari anak-anak warga RW 11 sore itu hadir setelah Nanang memberi sambutan. Selain itu di tempat tersebut juga terdapat lapak bacaan buku gratis.
Adzan berkumandang aktifitaspun dihentikan untuk dilanjutkan setelah menunaikan shalat maghrib. Tepat pukul 18:30 WIB. Kegiatan dilanjutkan dengan konferensi pers warga yang di wakili oleh Ketua Forum Nanang, ketua RT Rudi, dan Sumpena selaku ketua DKM. Sumpena menyatakan penolakannya terhadap penggusuran yang akan dilakukan. Ia mengungkapkan rumah yang di tempatinya sekarang merupakan hasil jerih payah sendiri tanpa bantuan dari pemerintah.
Ketua RT Rudi juga menuntut keadilan dan meminta Pemkot Bandung untuk mengkaji ulang program penataan kawasan permukiman dengan memperhatikan hak-hak warga. Ia merasa bangunan yang telah di tempatinya puluhan tahun nampak tidak ada harganya di mata pemerintah. “Maka dengan ini warga RW 11 menolak dengan tegas pembangunan rumah deret,” tegasnya.
Ketua Forum Nanang bercerita pada tanggal 20 Juni 2017, semua warga RW 11 di undang ke Pendopo dalam rangka acara buka puasa bersama. Tak disangka undangan ini merupakan sosialisasi dan laporan progres dari DKP3 terhadap Wali Kota Bandung yang dibalut buka bersama. Ditambah lagi Pemkot menyatakan bahwa sejak saat diundang, warga telah menyetujui untuk di relokasi ke Rancacili dalam rangka pembangunan rumah deret. Sontak semua warga yang ada di sana kaget karena menurut Nanang tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu.
Ditemukan, ternyata sebelum warga diundang tanggal 20 Juni itu, bulan April Dinas perumahan telah membuat kontrak dengan pengembang. Hasil kontrak tersebut di bekukan dan di bentuk tim pokja serta menghadirkan tim penilai independen untuk menilai berapa seluruh kekayaan warga yang bisa di inpentarisir. Hasilnya dari seluruh bangunan yang ada, berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2012 yang dipertegas Wali Kota Bandung bahwa tidak ada kewajiban pemerintah kota untuk mengganti kerugian atas tanah yang ditinggali warga.
Kemudian tanggal 12 Juli 2017 warga kembali di undang ke Balai Kota, dalam pertemuan tersebut di pertegas bahwa warga harus bersedia untuk di relokasikan selama pembangunan rumah deret. Setelah itu pertemuan terus berlangsung sampai akhirnya pertemuan dengan Komisi C Kota Bandung tanggal 6 Oktober di Taman Film. Baru disana ada kejelasan bahwa pembangunan tersebut merupakan laporan konsultan yang di setujui untuk dijadikan model rumah deret yang pada kenyataannya adalah rumah susun.
Rencananya rumah susun tersebut akan di bangun dengan dua tower. Tower pertama enam lantai terdiri dari 110 blok, sedangkan tower kedua sepuluh lantai dengan 319 blok. Dibangun dengan dua tipe, yang pertama tipe 33 dengan luas bangunan 5×4 ditambah 13 meter persegi. Sedangkan tipe ke dua, tipe 39 dengan luas bangunan 5×5 ditambah 13 dak. Setiap pintu di lengkapi dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tengah dan dapur. Menurut Nanang bangunan tersebut tidak cocok untuk permukiman kelurga karena dianggap sempit dan tidak ada ruang gerak. Ditambah lagi dengan jumlah blok yang ada terlihat tidak sebanding dengan jumlah warga tamansari 11 ini yang hanya 194 kepala keluarga, hingga membuat tanya untuk apa sisanya.
Selain itu, warga menolak pembangunan tersebut karena rumah susun yang akan ditempati warga hanya gratis selama lima tahun pertama dan seterusnya menggunakan sistem sewa. terlebih lagi warga tamansari 11 ada yang sudah lanjut usia, hal ini dilihat akan sangat memberatkan. Ditambah lagi harapan RW 11 untuk mempunyai hak atas kepemilikan tanah pupus. “Itulah dasar kami menolak adanya pembangunan rumah susun, sebab tidak ada satu konsol pun yang menguntungkan kami sebagai warga yang sudah jelas terdampak dari pembangunan rumah susun ini,” ungkap Nanang.
Warga RW 11 yang hanya tinggal RT 5,6, dan 7 ini terdiri dari 194 kepala Keluarga yang kebanyakan berprofesi sebagai seorang pedagang. Salah satunya Rosmini, ibu dari empat orang anak dengan satu cucu ini merasa keberatan jika nantinya harus membayar sewa untuk rumah susun. Ia juga mengungkapkan sampai sekarang belum ada perhitungan ganti rugi dari pemerintah jika benar pembangunan rumah susun tersebut terjadi, sedangkan warga hanya di beri waktu dua minggu untuk mengosongkan tempat itu.
Alasan kumuh yang digunakan oleh Pemkot Bandung untuk mengggusur kawasan ini dibantah oleh Nanang. Pasalnya dalam pemetaan kota RW 11 ini bukan termasuk dalam pemukiman kumuh. Meski ia mengakui jika memang ada beberapa kondisi rumah yang kurang baik. “Kenapa Pemkot tidak membangun rumah tidak layak huni saja dengan memperbaiki tanpa mengurangi luas bangunan. bukan menggusur semua lahan.” Sebelum melanjutakan diskusi, dalam acara ini juga ada penayangan film “Jakarta Unfair”.
Agrarian Resource Center Dianto Bachriadi menjelaskan jika Pemkot Bandung tidak mempunyai bukti kepemilikan atas tanah warga, maka tanah tersebut statusnya adalah tanah milik negara. Berdasarkan UU Agraria Republik Indonesia, prioritas pertama peruntukan tanah negara adalah untuk rakyat. Artinya menurut Dianto warga RW 11 lebih mempunyai hak atas tanah yang ditempatinya. Namun jika pemkot ternyata mempunyai bukti kepemilikan, tanah tersebut hanya boleh digunakan untuk hal yang berkaitan dengan administrari pemerintahan. Nayatanyalahan yang digusur inpun tidak diperuntukan demikian.
Dianto mengungkapkan, jika pemerintah akan melakukan pembangunan di atas tanah milik warga maka harus ada kesepakatan tertulis yang di setujui oleh kedua belah pihak dengan semua persyaratan yang harus dipenuhi. Jika tidak, menurut Dianto pembangunan itu dilakukan semena-mena. Selain itu pemerintah juga harus memberikan jaminan kepastian atas hak-hak warga.
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 33 yang berisi: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) memaparkan pernafsirannya. Menurut LBH Depertemen Tanah dan Lingkungan Gugun Kurniawan menguasi bukan berarti negara memperlakukan warga semena-mena denagn menggusur satu kawasan yang di kelola oleh negara. Maka menurutnya yang dilakukan oleh pemkot Bandung telah bertentangan dengan kontitusi negara.
Sedangkan jika di lihat dari segi Planologi, Urbanis Frans Ari P yang merupakan ahlinya. Mengungkapkan berdasarkan peta yang dikeluarkan oleh Badan Peta Nasional (BPN) wilayah yang ditempati oleh warga RW 11 belum terdaftar. Artinya tanah tersebut belum menjadi milik siapapun, sehingga warga berhak untuk mengajukan hak kepemilikan.
Frans juga menyatakan rencana pembangunan rumah susun tidak termasuk kedalam perencanaan tata ruang Kota Bandung tahun 2011-2031. Selain itu tidak termasuk juga kedalam rencana pembangunan jangka panjang menengah tahu 2013-2018. Terkait dengan biaya yang akan di gunakan, menurut Frans pembangunan ini tidak sebanding dengan anggaran yang ada. “Jadi atas kepentingan apa wilayah ini harus dihilangkan?,” tanya Frans. (Gina/SM)