Momentum Ramadan bisa dijadikan peluang dalam menghasilkan uang. Terlihat pedagang kaki lima penjual buku sedang memberikan barang jualannya kepada pembeli yang berada depan kampus ITB, Rabu lalu (22/6). (Fadhis/SM)
Data dari UNESCO mengatakan Indonesia memiliki minat baca yang rendah yaitu hanya 0,001 persen atau hanya satu orang dari 1000 penduduk yang serius untuk membaca pada tahun 2012. Di tahun 2015 data dari we are social menunjukan pengguna aktif sosial media di Indonesia mencapai tiga puluh satu persen. Miris bukan, nasib pustaka kita?
Salah satu pengguna sosial media Safira, mahasiswi Psikologi 2015 ini mengatakan bahwa dirinya lebih memilih membuka sosial media untuk mengisi waktu luangnya. “Kalau lagi liburan sih saya lebih suka main sosial media, biasanya untuk berkomunikasi,” jelasnya.
Tidaklah salah saat kita menggunakan sosial media karena kita juga membutuhkannya. Mengacu dari data di atas, terlihat oleh kita bahwa tidaklah seimbang antara pengguna sosial media dan pembaca pustaka. Jika kita perhatikan mayoritas pengguna sosial media hanya sekedar untuk berkomunikasi atau stalking instagram mantan.
Para pembaca yang budiman pun tahu bahwa begitu besar manfaat yang kita dapat dari membaca buku. Hal inipun mampu mempengaruhi kualitas diri seseorang. Mari kita bandingkan Finlandia dan Indonesia, negri kita berada jauh di bawah finlandia terkait human development index-nya. Finlandia mendapatkan predikat tertinggi dalam kuantitas membaca dan negara inipun memiliki human development yang lebih tinggi dibanding Amerika dan negara maju Eropa lainnya. Inilah alasan mengapa membaca buku jauh lebih penting dari pada membahas selegram dengan beragam sensasinya.
Saya rasa Indonesia tengah menghadapi krisis pustaka, ditambah lagi minimnya dukungan untuk pustaka terlihat ketika beberapa waktu lalu sempat terjadi pembubaran taman baca di Bandung yang dibubarkan oleh anggota TNI. Bukankah ini sangat disayangkan, ketika ada pihak yang menstimulus bangsa ini untuk memulai mencintai pustaka namun tidak didukung. Belum lagi kita rasakan di mana buku-buku tertentu masih sulit untuk didapatkan.
Di Unisba sendiri buku macam Karl Marx hanya disimpan di gudang saja. “Banyak buku yang kita taruh di gudang, Karl Marx juga termasuk buku yang disimpan digudang,” ucap Asep Sugriatna, Kasi Pengadaan Perpustakaan Unisba. Ia juga sempat menjelaskan jika pihak perpustakaan Unisba menyaring buku-buku yang mereka sajikan. Ia beralasan jika penyaringan buku ini dilakukan karena tidak sesuai dengan perkuliahan.
Penuturan di atas terkait pustaka sangatlah disayangkan, belum lagi kalau kita berbicara mengenai luas perpustakaan Unisba yang terbilang sempit. Hal ini membuktikan bahwa pustaka di Indonesia memanglah penuh batasan, di luar hal itu sosial media yang menjadi saingannya tidaklah memiliki batasan. Dalam hal ini saya rasa kita membutuhkan sinergi dari semua pihak, lembaga pendidikan pun seharusnya menjadi subjek utama yang mensurplus hal ini. Setiap individu haruslah mulai membatasi penggunaan sosial media serta mulai mencintai pustaka. (Ressy/SM)