Oleh : Agustina Nur Syafarianty
Akhir-akhir ini di media massa sedang ramai dibicarakan mengenai kewajiban untuk membela negara. Secara tersirat, tergambar bahwa bentuk dari bela negara adalah dengan melakukan wajib militer. Akan tetapi Kepala Badan Pendidikan dan Latihan Kementerian Pertahanan, Mayor Jenderal TNI Hartind Asrin menolak anggapan bahwa bela negara sama dengan wajib militer. Menurut beliau, anggapan bahwa perwujudan nyata dari bela negara adalah dengan melakukan segala kegiatan yang bersifat militer tidaklah tepat. Bela negara di sini sifatnya lebih kepada mencintai tanah air, rela berkorban, sadar berbangsa dan bernegara, meyakini Pancasila sebagai ideologi negara dan memiliki kemampuan awal dalam bela negara baik fisik maupun non fisik.
Menilik implementasi dari cinta tanah air itu sendiri, banyak masyarakat yang mendadak menjadi ahli dalam urusan mengartikan makna dari cinta tanah air. Berbagai opini dilontarkan mengenai bagaimana mewujudkan cinta tanah air yang tepat mulai dari yang sifatnya umum seperti mencintai produk dalam negeri, hingga yang kurang bisa dipahami akal sehat dengan melakukan tindakan yang cenderung merugikan banyak pihak.
Cukup dengan pemaknaan cinta tanah air yang bersifat subjektif terhadap siapa yang memandang, bagaimana dengan perwujudan nyata dari bela negara itu sendiri? Salah satu topik yang sedang hangat dibicarakan saat ini adalah dengan menyelesaikan penetapan batas maritim yang belum tuntas dengan negara tetangga.
Sebenarnya sudah pernah dilakukan perundingan dengan beberapa negara tetangga mengenai penetapan batas maritim ini, namun ada beberapa yang masih belum tuntas dan ada yang belum mencapai kesepakatan sehingga batas maritimnya belum bisa dibuat.
Masih banyak yang apatis terhadap seberapa pentingnya penetapan batas maritim bagi suatu negara. Hal ini tentu saja berkaitan langsung dengan kedaulatan suatu negara, selain itu tanpa peraturan yang tegas mengenai batas maritim di suatu negara maka akan menimbulkan terjadinya konflik pemanfaatan ruang di laut, mengingat laut memiliki begitu banyak sumberdaya yang dapat dikonversi sebagai nilai ekonomi.
Ketidakjelasan batas maritim ini tentu sangat merugikan bagi nelayan yang mencari nafkah di sekitar laut perbatasan. Selain itu, kurangnya pemahaman mengenai batas administratif wilayah maritim yang jelas bagi mereka juga merupakan salah satu penyebab maraknya berita di berbagai media massa yang mewartakan bahwa nelayan Indonesia ditangkap oleh negara tetangga karena dianggap memasuki kawasan perairan mereka. Belum lagi kasus penambangan pasir yang mempengaruhi ekosistem di sekitarnya dan juga berdampak langsung pada batas maritim dari Negara Indonesia. Hal-hal tersebut akhirnya memicu reaksi keras dari masyarakat awam, meminta pemerintah untuk menindaklanjuti permasalahan ini dengan negara yang bersangkutan.
Pengetahuan mengenai batas maritim bagi masyarakat awam dirasa sangat perlu untuk mengatasi permasalahan tersebut. Melalui pembekalan diri dengan pengetahuan tentang batas maritim, masyarakat bisa menanggapi isu permasalahan seperti yang tersebut di atas dengan cerdas, salah satunya adalah dengan berpartisipasi memberikan opini dan saran bagaimana untuk menuntaskan permasalahan batas maritim yang masih belum selesai dengan pemerintah sebagai fasilitatornya. Ikut serta dalam menjaga kedaulatan negara sendiri akan dirasa lebih baik daripada meneriakkan semangat cinta tanah air namun tidak didasari oleh ilmu.
*Penulis adalah Mahasiswi S1 Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada