Menteri Agama RI mengikuti prosesi pemakaman wartawan senior Ahmad Taufik, di TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Jumat, 24 Maret 2017. (Bobby Agung/Kontributor)
Suaramahasiswa.info, Jakarta – Perjalanan semasa hidup wartawan senior sekaligus pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ahmad Taufik yang akrab disapa Ate, menyisakan cerita tersendiri bagi para sahabat. Salah satunya Eko Maryadi, yang juga mendirikan AJI di penghujung rezim Orde Baru.
Tak ayal, upayanya memperjuangkan sistem pers di Indonesia pada saat itu berbuah malapetaka. Eko menceritakan kisahnya bersama Ate saat dipenjara karena menentang sistem pers yang diterapkan Soeharto pada masa itu.
“Kami pernah dibui selama kurang lebih dua tahun, lewat lapas ke lapas lainnya. Mulai dari Polda Metro Jaya, Salemba, Cipinang, sampai Cirebon,” ujar Eko yang akrab disapa Item, di TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Jumat, 24 Maret 2017.
Perjalanan mereka mesti berhenti di tahap keempat perpindahan. Ketika Eko dilepas, Ate tetap bertahan mendekam di dalam sel bahkan dipindah ke Kuningan, Jawa Barat. “Saya dibebaskan saat berada di penjara Cirebon, namun tidak dengan Ate. Dia tetap ditahan karena beberapa hal, bahkan sampai tak bisa melayat ayahnya yang meninggal,” kata Eko.
Sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1996, ketika Ate berada di dalam penjara. Sempat meminta pihak lapas untuk melayat sejenak, namun upayanya itu tak diizinkan dengan berbagai macam alasan, salah satunya takut kalau-kalau Ate melarikan diri.
“Dia sempat meminta izin untuk keluar dan melayat ayahnya, tapi tak diizinkan. Karena kesal, dia membuat buku tentang kebusukan sistem dan polemik yang terjadi di dalam penjara.
Ketika rezim Soeharto dirobohkan oleh aktivis mahasiswa pada pertengahan tahun 1998, Ate sudah bisa menghirup udara bebas dan kembali melanjutkan kiprahnya sebagai jurnalis. Eko lantas mengenang perjuangan mendiang Ate semasa hidupnya
“Dia sudah seperti kakak buat, lebih tua tiga tahun. Kami tidak pernah bertengkar bahkan ketika pandangan politik berbeda, sehingga ketika kondisi Indonesia pecah, kami tetap bersatu dan saling menjaga,” ujaran Eko.
Ging Ginanjar, wartawan senior lainnya, mengenang Ate sebagai sosok yang berdedikasi dan menginspirasi. Sebab, Ate juga turut menginisasi sejumlah gerakan independen lain lewat media-media alternatif independen. “Enggak tahu, saya enggak bisa menebus apa yang telah dia lakukan. Yang selaku kita kenang dari Taufik adalah, dia seorang inspirator atas segala macam hal,” tuturnya.
Menteri Agama RI Antar Pemakaman Wartawan Senior Ahmad Taufik
Kerabat dekat, rekan-rekan media, serta kalangan lainnya turut hadir dalam prosesi pemakaman. Tampak hadir salah satu kawan mendiang yang juga Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, di tempat.
Lewat pandangannya ia menuturkan, Ate adalah sosok pejuang. Pribadinya begitu membumi dan berdaya juang tinggi semasa menjalani hidup. “(Ate) patut dicontoh dari segi istiqomah dan konsistensinya. Seorang pejuang,” kata Lukman, di TPU Karet Bivak, pada Jumat, 24 Maret 2017.
Selain berkiprah sebagai jurnalis dan aktivis, Ate juga seorang advokat bagi kaum tertindas dan terpinggirkan. Salah satu perkara yang pernah ia tangani adalah Hendra Saputra, office boy yang ditumbalkan oleh anak menteri dalam kasus korupsi di Kementerian KUKM.
“Beliau fokus melakukan pembelaan terhadap kaum-kaum lemah dan mereka yg dilemahkan, moga-moga kita bisa menarik pelajaran. Almarhum adalah orang baik,” ujarnya.
Kalangan lain seperti sahabat Ate semasa kuliah, kawan jurnalis, terutama keluarga, kemudian melanjut sepatah dua patah kata yang mengiringi kepergian sosok berpengaruh dalam pers Indonesia ini. Prosesi pemakaman berjalan normal dan dipadati pelayat.
Ahmad Taufik meninggal pada umur 51 tahun, Kamis malam, 23 Maret 2017, di Rumah Sakit Medistra, akibat penyakit kanker paru-paru. Jenazah saat ini telah dimakamkan di TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta Pusat. (Bobby Agung/Kontributor)