Oleh Rakhanda Fatharana
Pintu berwarna biru menuju kampus tercinta kita terbuka dengan lebar, lalu-lalang mahasiswa dengan kesibukan masing-masing membuat pintu itu selalu terbuka. Ketika melangkah memasuki Kampus Tamansari No. 1, tanpa sadar pandangan kita akan terbawa ke kanan, menoleh ke arah lapang terbuka, lalu menuju papan panjat tebing bertuliskan Mahasiswa Pecinta Alam Unisba.
Papan panjat itu sudah lama berdiri, jauh sebelum pandemi Covid-19 membuat kita duduk. Karat sudah memakan besi rangka dan papan depan nampak rapuh hingga sangat jarang digunakan berlatih oleh pemiliknya dengan alasan keselamatan. Point pegangan yang dipakai untuk naik pernah patah ketika latihan panjat berlangsung. Bahkan, rangka belakangnya sudah sangat goyah ketika digunakan latihan teknik tali menali.
Akhirnya papan itu sudah lama tidak digunakan, pemiliknya pun mencari media lain untuk berlatih. Ia sudah lama tidak diperhatikan, ditambah kondisi kampus yang sempat kosong, lalu dijadikan tempat menaruh puing-puing kayu juga motor mogok. Satu-persatu bagiannya pun menghilang hingga lenyap, seperti fungsi papan tua itu.
“Kalau melihat dari papan panjat Mapenta sendiri, sebenarnya masih bisa digunakan untuk latihan, tapi melihat kondisi papan panjat mapenta sudah tidak layak digunakan. Seperti mobil yang terparkir dekat dengan papan panjat, karena dengan tidak layaknya papan panjat ini bisa saja alat atau point dari papan panjat ini jatuh ke bawah dan mengenai mobil tersebut,” kata Rangga, Ketua Dewan Pengurus Mapenta menjelaskan beberapa bahayanya rangka papan yang sudah rusak bila masih dipakai.
Di antara rangka besi yang diabaikan, dua pemuda membolak balikan sampah, memilih mana yang plastik, kardus, atau sisa makanan. Cecep dan Arya, sudah dua bulan ini mereka bekerja untuk memilah sampah sesuai jenisnya. Unisba mulai melakukan pengolahan sampahnya sendiri, suatu gerakan baik dan menguntungkan.
Sistem pengolahan sampah dirancang untuk menekan angka pengeluaran biaya persoalan sampah yang dihasilkan pembuang sampah di Unisba. Sampah-sampah yang dipilih bisa dijual dan menjadi pemasukan kas setiap regu petugas di tiap gedung, tergantung wilayah penugasan masing-masing.
Uang kas yang dikumpulkan bersama itu kini digunakan kembali untuk membeli bahan-bahan budidaya magot, hidroponic, dan budidaya lele yang Cecep dan Aria mulai sejak dua bulan ke belakang. Ke depannya, mereka sudah menyiapkan kolam berbahan terpal untuk budidaya lele dan jaring untuk budidaya maggot yang bisa diolah untuk menjadi pakan ternak atau pupuk.
“Manfaatnya pengolahan sampah ada banyak, Bank sampah berjalan lagi, terus dari Unisba biaya angkut sampah berkurang banyak, dan pemanfaatan yang sampah organik juga bisa menghasilkan untuk bahan mengolah maggot”, kata Cecep, petugas pengolahan sampah Unisba.
Pengolahan sampah yang dilakukan Cecep dan Arya masih belum bisa dikatakan maksimal, karena volume sampah jam kampus normal bisa menghasil puluhan kantong sampah seberat 30-40 kg. Setelah adanya sistem pengolahan sampah yang dijalani kedua petugas itu, sampah dari semua gedung dipilah lalu dipadatkan sebelum diangkut setiap hari oleh truk sampah.
Sampah yang memiliki nilai lebih bisa dikumpulkan terlebih dahulu untuk digunakan kembali, sedangkan sampah organik diolah di tempat pengolahan sampah organik. Tetapi, setelah menjalani selama dua bulan, bak penampung sampah organik sudah mulai penuh. Sementara kampus masih berjalan selama satu bulan kedepan sebelum liburan setelah Ujian Akhir Semester dan masuk tahun ajaran genap di tahun 2024.
“Saya merasa nggak enak juga kalo lagi pilih pilihin sampah di tempat anak-anak mahasiswa biasa manjat, itu kan hak mahasiswa tapi disediakan tempat kerjanya di sini, yaudah saya coba geser-geser dan ngerapihin supaya tidak kelihatan berantakan ” kata Cecep.
Bukan hanya tusuk cilor yang tajam, ucapan tajam pun dihadapi Cecep demi keharmonisan bisa tetap terjaga di lingkungan kampus Unisba. Tidak sekali Cecep menjadi garda terdepan saat mendapat pertanyaan dari mahasiswa-mahasiswa yang melihat berubahnya fungsi papan panjat dan lapangan menjadi tempat pengolahan sampah. Untuk itu Cecep dan Aria menyapu bersih setiap kali selesai melakukan pemilahan sampah.
Seperti Saung Kompos dan Taman Planologi yang menjadi sudut baru di ruang kampus Unisba, semua bagian bisa diubah sedemikian rupa beserta aturannya untuk membuat semuanya lebih baik tentunya. Pembuatan sistem pengolahan sampah yang baik dan layak pun wajib bagi universitas yang menjalani itu.
Aturan kampus bebas rokok, sudah berhasil dibuat kampus. Tapi kenapa pengolahan sampah tidak dibuat sebaik itu, jadi terlihat kumuh dan tidak profesional di bawah papan Panjat yang rusak. Dengan ditutupi sisa spanduk dan asbes, Cecep dan Arya mengorek sampah tanpa dibekali peralatan keselamatan diri yang baik.
Alangkah bangga apabila tempat pengolahan sampah kampus sendiri terlihat baik dan profesional. Sehingga tidak ada pihak mahasiswa yang merasa bahwa pengolahan sampah yang sebenarnya positif dianggap buruk karena lokasinya yang berada di sarana dinding panjat tebing tua yang berbahaya.
Tidak ada salahnya pihak universitas mengganti panjat dinding menjadi tempat pengolahan sampah modern dan membangun papan panjat tebing di tempat yang lebih baik dengan standar nasional.
Perbuatan ikhlas dan ingin melakukan hal besar demi kebaikan ada pada diri Cecep dan Arya saat melakukan sistem pengolahan sampah yang baik demi mewujudkan green campus yang layak dan benar. Papan panjat dan pengolahan sampah sama pentingnya, kewajiban memfasilitasi pengembangan softskill non-akademik mahasiswa ini bisa terwujud dengan memberi fasilitas yang maksimal. Di 2024 ini, semoga hal baik bisa terwujud.
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi