Teks: Ahmad Taufik
Dosen Stikom-Bandung
“Asas jurnalisme kami bukanlah asas jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya bahwa kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak.”
Mukadimah edisi pertama Majalah Tempo, Maret 1971 itu menjadi penghias iklan di Majalah Tempo terbaru (2 November 2014). Ditambahkan kata-kata, penguasa boleh datang dan pergi jurnalisme tetap mandiri, lengkap dengan sketsa presiden-presiden Indonesia.Tak begitu jelas apakah iklan itu, inisiatif Tempo sedang menyindir dirinya sendiri, koreksi diri atau galau dengan situasi pers saat ini.
Pesta rakyat atas terpilihnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakilnya Jusuf Kalla (JK) usai dengan terbentuknya kabinet kerja. Tempo, seperti media massa lainnya dalam proses pemilihan presiden, sempat dituding ‘memihak’ secara terang-terangan salah satu kandidat. Memang, Goenawan Mohamad (GM) pendiri TEMPO dalam peringatan pembredelan 21 Juni di kantornya, mengatakan media massa tidak harus bersikap netral dalam kebijakan pemberitaannya (Koran TEMPO, 25 Juni 2014). Pernyataan GM itu diamini beberapa pendukungnya di internal maupun di luar TEMPO, walaupun ada juga yang tidak setuju.
Saya termasuk yang sempat khawatir, ‘tergerus’nya independensi jurnalisme, karena pemihakan TEMPO kepada Jokowi-JK. Sebab, selama ini Tempo boleh dikatakan media yang masih bisa ‘diandalkan’, ketika media massa, terutama televisi benar-benar terpecah dalam dua kubu yang berbeda. Apalagi, dalam kunjungan saya ke sebuah kantor biro Tempo di daerah, seorang reporter kontributor yang lulusan Fakultas ilmu komunikasi sebuah perguruan tinggi mengeluhkan pemihakan Tempo tersebut, “jurnalisme sudah mati.”
Apa benar sudah mati? Jika menilik kata-kata iklan “penguasa boleh datang dan pergi, jurnalisme tetap mandiri,” saya yakin jurnalisme di Tempo dan juga di negeri ini cuma sempat ‘pingsan.’ Indepedensi jurnalisme harus bangkit kembali, kritis kepada banyak pihak, bukan hanya kepada penguasa, juga institusi ‘superbody’ semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga swadaya masyarakat (NGO), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahkan terhadap lingkungan pers sendiri.
Ketidaknetralan media massa bisa ‘membunuh’ demokrasi, di samping ‘memancing’ kekerasan terhadap pekerja media atau tempat kerjanya. Itu bisa terjadi, karena ‘tergerus’nya kepercayaan masyarakat atau kelompok masyarakat. Padahal bisnis media, adalah bisnis kepercayaan. Jika kepercayaan itu hilang, bukan saja media tak dibeli (baca: tak laku di pasar), tetapi bisa dianggap ‘menyerang’ pihak lawan pendukung media itu. Inilah yang dimaksud bisa menimbulkan kekerasan para pendukung fanatik yang kalap karena serangan media terhadap ‘tuan’nya.
Mengembalikan kepercayaan publik terhadap media, kini menjadi tugas penting para jurnalis pasca terbentuknya pemerintah baru. Daya kritis harus dibangun kepada semua pihak seperti yang disebut di atas. Media massa tak boleh hanya menjadi ‘mainan’ pemilik atau kelompok elit yang menguasainya. Masa media menjadi corong para pihak yang ‘berseteru’, seharus nya sudah berakhir dengan terbentuknya kabinet kerja pemerintahan baru ini. Apalagi Jokowi-JK dan seterunya sudah berbaikan.
Media massa menjadi partisan pada masa proses pemilihan presiden, sempat melahirkan media-media berbau fitnah. Tak salah jika saat itu jurnalisme dalam keadaan ‘koma’. Kini, media yang sempat berpihak (istilah GM, tidak netral) pada salah satu kelompok harus kembali ke pangkuan publik. Bekerja kembali menjadi pilar keempat dalam tiang demokrasi negeri ini. Sebagaimana, judul iklan itu, “penguasa boleh datang dan pergi jurnalisme tetap mandiri.”