
Akuarium yang kini sepi di malam hari, tidak seperti dahulu sebelum pandemi. (Foto: Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba– Cahaya hari jatuh tepat di ujung horizon, menarik malam yang merabunkan ayam. Kampus yang sebelumnya biru ini pun menjadi muram, semua mahasiswa yang ada diminta pulang oleh Satpam. Itu bukanlah hal natural.
Semua berawal sekitar tiga tahun lalu. Kala wabah yang disebut-sebut berasal dari Cina melanda, merebut kebebasan dunia, Indonesia, Bandung, bahkan Unisba. Kampus pun ditutup. Semua kegiatan belajar dirumahkan hingga memaksa kita berkomunikasi menggunakan teknologi.
Akhirnya, di awal bulan Januari 2022 yang dingin itu kampus mulai dapat diisi kegiatan pembelajaran. Biarpun begitu, rupanya kebebasan ini bukan tanpa syarat, seabrek peraturan masih membatasi dengan alasan pencegahan. Memang saat itu kasus-kasus menjangkitnya sang wabah masih muncul di berbagai tempat di belahan Indonesia ini.
Kini, masih muncul beberapa kasus akan menjangkitnya sang wabah di Indonesia. Seakan sudah muak, masyarakat tidak lagi memberi perhatian kepadanya. Seolah tak acuh, semua sudah mulai dinormalkan–normal yang baru katanya. Kehidupan Kantor, Sekolah, Pengajian, Dangdutan, acara pemerintahan, termasuk Kampus sudah mulai berjalan.
Rupanya lagi, kebebasan ini belumlah sejati. Sisa-sisa kebiasaan, bahkan peraturan yang dibentuk di masa wabah sebelumnya masih menjalar. Di kampus biru ini sendiri, aturan untuk mencegah penyebaran wabah masih diberlakukan. Salah satunya pembatasan berkegiatan sampai malam menjelang.
Dahulu kampus selalu ramai, sampai malam hari! Kala gelap datang mahasiswa-mahasiswa itu masih enggan enyah dari tempat bertenggernya. “Banyak bunyi-bunyian dulu! Di pelataran Psikologi ada yang latihan bela diri, di parkiran utama ada yang latihan juga, di Tangga Batu ada yang nongkrong, di Akuarium ada diskusi,” Kenang Alif, salah satu mahasiswa angkatan 2017.
Suasana menjadi hangat, melawan dingin yang dibawa angin. Seri mereka menembus gelap menemani kesepian Satpam yang harus berjaga siang-malam. “Dulu haneuteun (Suasana hangat), kita yang jaga jadi enggak sepi, Patroli tengah malam jadi enggak keu’eung (Mencekam). Mahasiswa masih bebas,” ucap salah satu Danru Satpam Unisba, Mulyadi saat membagikan kenangannya.
Mulyadi merasa jika kini kampus seperti kuburan, mahasiswa yang tadinya berlalu-lalang melewati gerbang Unisba berganti menjadi pemandangan kosong. Hanya segelintir orang yang mampu dihitung jari masih beraktivitas di sini. Hanya diisi orang yang ingin mengerjakan tugas, masih berkegiatan mendesak, dan beberapa orang lagi yang mengisi megahnya kesunyian malam.
Meskipun manusia bukan makhluk nokturnal secara biologis, kebebasan manusia khususnya mahasiswa untuk tidak enyah dari tempat bertenggernya–dalam konteks ini kampus–adalah hak. “Mahasiswa mestinya memiliki kesadaran akan memperjuangkan haknya untuk menjadi manusia yang sejati,” pungkas Alif.
Penulis: Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM
Editor: Muhammad Irfan/SM