Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sedang melakukan mimbar bebas di Festival Keadilan pada Sabtu, (6/1). (Foto: Muhammad Dwi Septian/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba- Malam minggu, (6/1), pukul 18.30 WIB, Balai RW. 02 Dago Elos Bandung sudah dipenuhi oleh orang-orang dari pelbagai elemen. Di tengah hujan mereka hadir untuk Festival Keadilan bertajuk Solidaritas tanpa batas, mimbar gagasan, dan pertemuan mendobrak kebuntuan.
Festival keadilan yang diadakan oleh Social Movement Institute (SMI) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ini merupakan serangkaian roadshow ke beberapa kota, salah satunya Bandung. Pembicara yang dihadirkan yaitu Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, Rocky Gerung, Eko Prasetyo, Muh. Isnur, Bivitri Susanti, Robertus Robert, dan Warga Dago Elos.
Moderator menjelaskan bahwa festival keadilan diadakan karena negara tidak pernah benar-benar menunjukan demokrasi yang sesungguhnya. Diramaikan pula festival ini dengan mimbar bebas dari para pembicara, penampilan seni warga, dan beberapa lapakan.
Mimbar bebas diawali oleh Rocky yang membawa pembahasan Pemilihan Umum (Pemilu) hingga kebebasan individu. Rocky menyebut bahwa kebebasan itu bukan hadiah dari negara apalagi pemimpinnya, melainkan hak yang mesti direbut dan dipertahankan sendiri.
“Kita diskusi kecil disini sambil menunggu keajaiban sejarah, tapi keajaiban hanya bisa tiba kalau kita dari awal menuntut secara tuntas penghentian pelanggaran hak asasi manusia,” ujarnya.
Ia selanjutnya menyoroti kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dilakukan Fatia dan Haris. Seluruh rezim politik, menurut Rocky, ketakutan karena ada riset dari rakyat untuk menuntut kembali hak rakyat yang dirampas oligarki.
Haris-Fatia dan Pencemaran Nama Baik
Haris dan Fatia diperkarakan bermula dari video di kanal Youtube milik Haris berjudul “Ada Lord Luhur di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!!! Jenderal BIN juga Ada 1!” yang diunggah pada Jumat, (20/8/2021). Tak lama, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, melaporkan keduanya terkait pencemaran nama baik.
Kemudian keduanya menjalani beberapa pemeriksaan intensif terkait laporan Luhut itu. Dalam persidangan pertama yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, jaksa menyatakan bahwa pernyataan Haris dan Fatia dalam video tersebut menyinggung Luhut dan mencemarkan nama baiknya.
Dalam video tersebut, Haris dan Fatia mengungkap laporan dari sembilan organisasi yang menyatakan bahwa ada rencana untuk menggantikan hutan dengan lahan industri tambang. Informasi yang tak pernah diumumkan oleh negara, lalu ada yang ingin membantu namun dibungkam oleh negara.
“Diungkap terus akan kerusakan alam, diungkap kerusakan moral manusianya, diungkap kecurangan-kecurangan pejabat tapi mereka menganggap itu sebagai suatu hal yang haram di mata kekuasaan, itu artinya mereka menguasai info, merencanakan secara diam-diam dan ketika diungkap itu dianggap sebagai sebuah kejahatan,” ucap Haris saat mimbar bebas digelar.
Salah satu Dosen di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri tak enggan mengatakan bahwa nyatanya kita tidak setara di hadapan hukum. Hal ini ditinjau dari putusan pengadilan yang akan dilayangkan pada Haris dan Fatia, Senin, (8/1).
Bivitri berpandangan keduanya tidak patut dijerat oleh hukum karena sedang memperjuangkan keadilan untuk rakyat Papua. Ia menjelaskan bahwa kini yang terjadi adalah orang berani berbicara ketika memiliki kekuasaan. Sedangkan orang yang tidak memiliki kekuasaan dibuat tunduk pada hukum tanpa diberikan ruang untuk mempertanyakan keadilannya.
Kebebasan Berekspresi
Pemidanaan terhadap Fatia dan Haris merupakan salah satu penjegalan kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi adalah hak setiap orang untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apapun, dengan cara apapun.
KontraS menyatakan bahwa berbagai kasus kriminalisasi kaitannya dengan kebebasan berekspresi masih terus menimbulkan korban. Sehingga berbagai temuan dan pola yang ditemukan kian berbahaya jika tidak dihentikan.
Situasi ini tervalidasi oleh sejumlah indeks demokrasi, misalnya dari Economist Intelligence Unit (EIU), yang menyatakan kinerja demokrasi Indonesia bergerak stagnan. Indonesia menempati angka 6,71 poin dan masih belum bergerak dari kategori demokrasi cacat. Begitupun jika merujuk data dari Freedom House yang menunjukan penurunan angka kembali di tahun 2023 dengan 58/100.
Dalam kurun waktu Januari 2022-Juni 2023, KontraS mencatat setidaknya terdapat 183 peristiwa pelanggaran hak terhadap kebebasan berekspresi, mulai dari serangan fisik, digital, penggunaan perangkat hukum, hingga intimidasi. Sejumlah peristiwa tersebut telah menimbulkan setidaknya 272 korban luka-luka dan 3 lainnya tewas.
Upaya Langkah Konsisten
Founder SMI, Eko Prasetyo, menilai bahwa pendidikan saat ini khususnya di universitas hanya dilakukan untuk indoktrinasi pandangan-pandangan. “Kampus sudah bukan menjadi tempat untuk pendidikan tapi tempat untuk memaksakan pandangan-pandangan, kampus hanya menjadi tempat indoktrinasi bukan menjadi tempat untuk menyatakan pikiran pikiran alternatif,” ungkapnya.
Maka dari itu, menurut Robertus, saat ini kita perlu mengambil langkah yang tidak mudah, kritik mesti terus digulirkan untuk mendidik penguasa. Saat ini, karena perpolitikan, menurutnya garis perjuangan yang sudah ditegaskan semakin kabur.
“Para pejuang mengatakan bahwa rakyat dididik dalam pendidikan tapi penguasa mesti dididik dengan kritik dan perlawanan, bukan karena kita membenci, kita berjuang karena kita perlu menegakkan kembali masa depan republik kita,” ucap Robertus.
Pengobaran semangat pun dilakukan oleh Fatia, bahwa pembungkaman yang terjadi hari ini harus dihadapi oleh kita dengan merapatkan barisan dan menunjuk muka negara yang terus menerus menindas warganya. Ia mengatakan juga jika perlawanan bukan soal kalah atau menang melainkan konsistensi yang tiada henti.
Di sisi lain, Haris mengingatkan kita agar tidak takut untuk berargumentasi. Menurutnya, lebih baik berlomba-lomba menjadi bodoh daripada pintar dan masih takut pada pemerintah.
“Tidak usah takut pada penjara, penjara hanya membatasi diri badan, tapi tidak akan membatasi pikiran dan kebenaran. Penjara hanya menunda partisipasi kita untuk turut serta bersama warga dan mencium bau-bau keringat itu, tapi kita yakin bahwa penjara tidak akan pernah cukup untuk diisi dengan jutaan warga yang semakin menderita,” tegasnya.
Reporter: Syifa Khoirunnisa/SM
Penulis: Syifa Khoirunnisa/SM
Editor: Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM