
Foto: Dokumen pribadi
Suaramahasiswa.info – Kala itu 19 Januari 1999 suasana berubah mencekam. Segerombolan kaum salibis melakukan pembantaian terhadap umat Muslim di Maluku. Seketika ribuan Muslim kocar-kacir mengungsi menyelamatkan diri, namun kejadian berlalu begitu cepat hingga ribuan nyawa melayang.
Peristiwa yang terjadi di Maluku saat itu telah mengetuk hati seorang sosiolog Indonesia untuk terjun langsung berupaya menghentikan konfilk yang terjadi. Sebut saja ia Imam Budidarmawan Prasodjo, sosiolog yang dikenal aktif melakukan kegiatan-kegiatan sosial.
Imam bercerita tahun 1997 awal ia baru saja pulang dari Amerika Serikat setelah menyelesaikan pendidikan S3-nya. Setahun kemudian reformasi di Indonesia terjadi, Presiden Suharto diturunkan dan terjadi pergejolakan konflik di mana-mana. Seperti di Jakarta terjadi aksi bakar-bakaran dan konflik besar-besaran bernuansa agama di Maluku.
“Kalau di Indonesia bagian timur itu kampungnya berkelompok. Misalnya sebelah situ mayoritas Kristen dan sebelah sana mayoritas Islam, jadi tidak berbaur sehingga jika terjadi konflik antar kampung jadi seperti konflik antar agama,” jelas Imam.
Melihat hal itu, Imam bergegas datang ke Maluku untuk melerai konflik antar sesama tersebut. Selama tiga tahun ia pulang-pergi: Jakarta, Ambon, Tual, Ternate, Bitung, dan Buton. Upaya yang dilakukannya dengan mengajak masyarakat untuk ikut serta membangun sekolah dasar di Jailolo, Maluku. Bukan hanya sekedar membangun sekolah, namun upaya yang di lakukannya untuk melerai konflik dengan cara gotong royong.
Dirinya yang tengah disibukkan dengan masalah konflik tersebut, tiba-tiba ditelpon oleh kakaknya. Rupanya ada salah satu sekolah dasar di Purwakarta, tepatnya di Desa Cisarua yang memiliki sekitar 260 murid namun hanya ada satu guru dan kepala sekolah saja. Tidak hanya itu, kondisi bangunannya juga hampir rubuh. “Kakak saya bilang, kamu jangan jauh-jauh bangun sekolah di Ambon, di sini juga banyak yang memerlukan, Padahal saya ke Ambon juga bukan hanya bangun sekolah.”
Mendengar cerita itu, Imam bersama rekan wartawannya Teguh Juarno pergi ke Purwakarta. Imam yang saat itu menjadi penyiar di Radio Delta, mengajak guru dan kepala sekolah tersebut ke Jakarta untuk berbagi kisahnya dengan para pendengar radio. Tak disangka melalui acara tersebut banyak sumbangan yang mengalir untuk membantu. Kemudian bersama Yayasan Nurani Dunia yang di ketuai olehnya, di tanah seluas delapan ribu meter persegi ia membangun SDN 2 Cisarua dan SMPN 3 Tegalwaru.
Permasalahan masih tetap muncul meskipun sekolah telah selesai dibangun, kini kurangnya tenaga pengajar menjadi kendala. Tak jarang membuat tukang kebun dan penjaga sekolah pun ikut mengajar. Kemudian Imam bersama Suhaeli salah satu guru di sana, merekrut anak-anak yang baru lulus SMA untuk diangkat menjadi guru bantu sekolah. “Seharusnya tidak boleh anak SMA mengajar anak SD, tapi lebih baik daripada diajar oleh tukang kebun atau penjaga sekolah.”
Berawal dari mimpinya menjadikan kampung Cisarua menjadi kampung ilmu, kini bapak dari Rauf Prasodjo dan Adila Prasodjo ini telah membangun saung sehat, kebun ilmu, perpustakaan, bendungan air bersih, hingga lapangan sepakbola di Kampung tersebut. Dengan dibuatnya tempat-tempat tersebut, ia berharap setiap tempat di kampung itu dapat dijadikan tempat belajar.
Menarik ketika mendengar ceritanya, saat Imam telah banyak membeli tanah di kampung tersebut. Ia sempat di curigai oleh masyarakat di sana. Padahal semua tanah yang dibelinya digunakan untuk pembanguan yang di peruntukan bagi kepentingan umum dan pemberdayaan warga itu sendiri. “Karena tidak ada yang nyumbang tanah, terpaksa saya beli,” ucapnya.
Namun semangatnya untuk menciptakan perubahan di kampung tersebut tidak berhenti di situ. Kini Imam juga tengah disibukkan dengan pembuatan kandang untuk peternakan burung puyuh dan kambing perah, setelah sebelumnya sempat membuat peternakan lele. Lagi-lagi aksi sukarelawan yang dilakukannya untuk mengubah kondisi kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Imam mengaku membuat orang tergerak melakukan sesuatu tidaklah mudah, namun ia tetap optimis perubahan akan terjadi di kampung tersebut.
Pria yang kini telah menjadi dosen tetap FISIP Universitas Indosesia itu merasa miris, pasalnya dari sekian banyak negara yang ia kunjungi kondisi Indonesia masih sangat jauh ketinggalan, bahkan dengan negara tetangga saja Indonesia tertinggal. Hal itu mendorong dirinya bersikeras melakukan yang ia mampu. “Kalau nunggu pemerintah saja ya susah,” ungkap pria yang memperoleh gelar Ph.D. dari Brown University, Rhode Island, Amerika Serikat itu.
Melanjutkan ceritanya, walaupun Indonesia merdeka sejak tahun 1945 lalu, Imam merasa kesempatan untuk meraih kesejahteraan dan kemakmuran masih belum merata. Antara yang beruntung dan tidak beruntung masih berbanding ekstrim. Sebab itulah Ia bersama yayasannya aktif melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Yayasan yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan itu telah banyak menyumbangkan bantuan dalam berbagai kegiatan kemanusiaan. Hingga kini tercatat 30 sekolah di berbagai daerah yang telah dibangunnya bersama Yayasan Nurani Dunia.
Tidak hanya membangun sekolah, pria yang dikenal sebagai sosiolog ini juga banyak memberikan beasiswa bagi anak-anak yang kurang mampu dari segi ekonomi. Ia mengungkapkan dari siswa yang telah dibiayainya, kini sudah ada yang menjadi menteri, pegawai negeri, wirausaha, dan pengusaha. “Karena saya produk orang, jadi saya kepengen bayar balik. Mulai dari SMA, S1, S2, S3 semua sekolah saya dibayarin orang. Caranya saya membayar dengan cara yang saya lakukan saat ini,” tutur pria yang juga menjadi ketua tim Panitia Seleksi (Pansel) penasihat Komisi Pemberantasan korupsi (KPK).
Salah satu anak yang kini mendapatkan beasiswa darinya ialah Nurul Huda Susanti. Menurut Nurul melihat sosok Imam itu begitu berbeda, ia merasa Imam pantas untuk dijadikan contoh. Mahasiswa yang kini mengenyam pendidikan di Universitas Islam Bandung ini bercerita bukan karena ia di biayai oleh Imam, namun menurutnya sosok Imam begitu memperjuangkan orang lain dengan mati-matian. “Walaupun tidak ada hubungan darah dan meskipun bukan siapa-siapa, tapi pak Imam benar-benar memperjuangkan.”
Di usianya yang sudah menginjak lebih dari setengah abad, Imam masih aktif melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Lantas kita sebagai generasi muda akankah terus berdiam diri ataukah menunggu tua nanti. Jika memang membahas kemanusian terlalu berat, bisa dimulai dari lingkungan sekitar sekecil apa pun itu lebih baik daripada berdiam diri. (Gina/SM)