Oleh: Bobby Agung Prasetyo*
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu
Bukan ingin sok-sok berpuitis ria di akhir tahun, bukan pula terobsesi menjadi pujangga akhir zaman. Namun, puisi “Rumahku” (Chairil Anwar, 1943) tersebut seolah menggambarkan betapa diri ini gundah dengan segala yang terjadi di ‘rumah’. Ya, Unisba. Tempat saya berkuliah, tempat diri ini dipapah menjadi lebih baik, dengan kata lain: rumah di mana kami meneduh dan menimba apapun itu yang bisa ditimba. Kekhawatiran merambah ketika rumah tersebut menjadi tak nyaman.
Apalah artinya kebahagiaan, bila tak diakhiri dengan happy ending? Unisba tahun ini memiliki beragam cerita yang membahagiakan, membanggakan, tak sedikit pula menyedihkan. Di awal tahun, kita bertemu dengan pesta demokrasi yang menjemukan. Saat itu, ketidakjelasan akan status presiden mahasiswa, dalam kacamata pribadi, menjadi keamburadulan yang mengkhawatirkan. Sila bayangkan, sebuah negara yang kursi kepemimpinannya menggantung. Itulah yang dialami kampus biru, saat itu.
Hari berjalan terus sampai kejemuan lainnya tiba. Mari tak usah membahas soal managing nilai yang dari dulu masih seperti itu-itu saja. Masih segarkah ingatan kawan-kawan sekalian, tentang kasus seorang Mahasiswa Fikom 2010 yang seminarnya dibatalkan gara-gara status di jejaring sosial Path-nya menginggung salah satu pihak akademisi? Yang lalu biarlah berlalu, namun sesuai dengan pernyataan Soekarno sang proklamator, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah”.
Masuk di tahun akademik baru, banyak sekali peraturan dan tata tertib anyar yang menimbulkan pro-kontra. Mulai dari diwajibkannya kerudung, sistem perkuliahan yang dirasa mengekang, kebijakan berorganisasi di kampus, dan lain-lain.Ada satu yang menarik dari prosesi Ta’aruf 2014, selengkapnya bisa disimak pada (LINK INI).
Menanggapi hal itu, mungkin para organisatoris kampus cuma bisa bilang “sakitnya tuh di sini”.
Panjang sekali alurnya, sampai akhirnya kita tiba di info terhangat saat ini; di mana mahasiswa Fikom coba mempertahankan keekslusifannya dalam berseragam ketika menghadapi UTS/UAS. Menolak hitam putih, katanya. Jika perjuangan ini atas nama keekslusifan, maka sudahi terlihat ekslusif karena kesetaraan adalah yang dimau oleh semua mahasiswa Unisba—tanpa perbedaan. Jika ada satu atau dua hal lain yang menjadi latar belakang untuk berjuang menolak hitam putih, maka perjuangkan itu sampai lulus.
Karena yang harus ditolak bukan hanya hitam-putih dalam berseragam saja, namun juga “hitam-putih dalam bernalar”.
Bagaimana dengan tak adanya perpanjangan UKT? Bagaimana dengan adanya peraturan dilarang merokok namun tak disediakan ruang khusus merokok? Bagaimana dengan peraturan lain-lain? Perjuangan yang kita lalui pada nyatanya lebih tebal dari sekedar buku “Mein Kampf” (Perjuanganku) karya Adolf Hitler.
“Jangan pernah letih mencintaiku” mungkin, ujar Unisba, jikalau kampus ini bisa ngomong. Berjuang, memperjuangkan, dan diperjuangkan, adalah bukti afeksi tertinggi (Seharusnya) yang tak ubahnya harus dilakukan oleh para warga kampus biru.
Tak cukup rasanya bila satu artikel ini menjelaskan kaleidoskop permasalahan yang terjadi pada Unisba di 2014. Sila lihat situs berita kami, suaramahasiswa.info, untuk dapat membaca goresan kisah romantika Unisba di tahun 2014.
Tanpa berucap panjang lagi sampai gigi kering, dalam hitungan jam kita akan bertemu dengan tahun yang baru, 2015. Harapan adalah semu, perjuangan adalah nyata. Tinggal bagaimana menggabungkan “harap” dan “juang” jadi seimbang layaknya yin-yang. Selamat menempuh hidup baru, instansi pendidikan yang sangat dicinta dan dipedulikan.
Get well soon, ya.
*penulis adalah Pemimpin Umum Pers Suara Mahasiswa