Ilustrasi wajah Mohammad Misbach sang “Haji Merah”. (Ilustrasi: Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba- Mungkin selama ini kita berpikir jika agama adalah hal yang sangat bertentangan dengan yang namanya komunisme, atau setidaknya pikiran itulah yang “mereka” ingin tanamkan dalam diri kita. Mereka siapa? Mereka yang mengajari kita bahwa katanya “komunis itu anti agama” atau hal-hal dogmatis lainnya.
Namun, semua itu akan terlihat omong kosong jika kita berkenalan dengan seorang sosok yang mampu menyatukan minyak dan air tersebut, Haji Misbach namanya. Jika dilihat dari nama, jelas dia seorang muslim, bahkan dirinya adalah mubaligh yang sekaligus seorang komunis.
Haji Misbach lahir di Kauman, Surakarta, pada 1876 dari keluarga saudagar batik yang bisa dibilang sukses. Ketika kecil dirinya memiliki nama Achmad kemudian setelah menikah berganti kembali menjadi Darmodiprono, sampai pada akhirnya berubah menjadi Mohammad Misbach usai dirinya menunaikan ibadah haji.
Orang tuanya sendiri memiliki latar belakang agama yang tidak begitu kuat. Meskipun begitu, karena tinggal di lingkungan pejabat keagamaan keraton mereka menyekolahkan Misbach kecil di pendidikan pesantren. Lalu, bagaimana sosok seperti Haji Misbach ini bisa terbentuk? karena ideologi komunisnya notabene berasal dari barat.
Ternyata selain pendidikan keislaman di pesantren, dirinya juga pernah mengecap pendidikan formal di sekolah Bumiputra kelas dua atau Tweede Inlandsche School walau hanya selama delapan bulan. Kondisi sosial politik pada masa itu pun mendukung dengan mulai merambahnya pendidikan gaya barat melalui politik etis dari pemerintah kolonial.
Setelah dewasa, dirinya sempat melanjutkan usaha batik milik keluarganya, meski setelah itu ia meninggalkannya dan mulai masuk ke dunia intelektual. Haji Misbach mulai bergabung dengan Inlandsche Journalisten Bond (IJB) pada 1914. Setahun setelahnya Misbach perdana menerbitkan surat kabar bulanannya yang bertajuk “Medan Moeslimin”.
Penerbitan itu merupakan langkah awal Misbach masuk dalam pergerakan melawan penindasan dengan memegang bendera islam di tangannya. Selain Medan Moeslimin, ia juga membuat surat kabar lain yang juga menjadi media propagandanya, yaitu “Islam Bergerak”. Orang yang kerap dijuluki Haji Merah ini selalu mempropagandakan pemikirannya dengan tegas, baik secara langsung maupun melalui surat kabarnya.
Menurut pendiri IJB, Marco Kartodikromo, Haji Misbach memiliki penampilan layaknya seseorang yang dipanggil Haji pada umumnya. Disebutkan jika Haji Misbach selalu menggunakan Peci Turki atau bersorban. Meskipun begitu, dirinya juga tetap sering bergaul dengan anak-anak muda sebagai teman bermain dan melancong.
Marco dalam tulisannya yang berjudul Korban Pergerakan Rajat: H.M. Misbach tahun 1924 menggambarkan bahwa Misbach adalah sosok yang memiliki banyak kawan di kalangan rakyat yang membantunya dalam pergerakan. Sebaliknya, ia akan menjadi begitu buas jika di hadapan orang munafik yang mengaku Islam tetapi lebih suka mengumpulkan harta tanpa melihat kesusahan rakyat.
“Tetapi di dalam kalangannja orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingken mengoempoelkan harta benda dari pada menoeloeng kesoesahan rajat, Misbach seperti harimau di dalem kalangannja binatang-binatang ketjil.” Ungkap Marco.
Di luar aktivitas menulisnya, Haji Misbach juga aktif dalam dunia politik melawan penjajah dengan bergabung bersama partai Insulinde yang merupakan penerus dari Indische Partij. Dalam partai ini dirinya menjadi orang yang berpengaruh dan tetap menyisipkan pemikirannya dalam propaganda-propaganda Insulinde.
Dalam propagandanya, Haji Misbach kerap kali mengutip ayat-ayat Al quran. Nampak jika dirinya merupakan sosok yang sangat berpegang teguh dengan keislamannya, bahkan dia sempat menyebut bahwa propaganda Insulinde adalah Propaganda Islam.
Setelah aktif di Insulinde selama beberapa tahun, Haji Misbach sempat terlibat beberapa aksi pemogokan buruh dan tani. Saat terjadi pemogokan di daerah Nglungge, Jawa Timur dirinya terseret ke pengadilan hingga dipenjara pada tahun 1919 hingga dibebaskan pada tahun 1922.
Setahun setelahnya, Haji Misbach muncul sebagai propagandis di Sarekat Islam yang berhaluan kiri atau sering disebut SI Merah. Kehadirannya di partai yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI) ini semakin menonjol. Ia pun banyak bicara di berbagai kesempatan mengenai pertalian antara Islam dan Komunisme.
Haji Misbach seperti menemukan titik temu antara Islam dan Komunisme. Menurutnya, agama merupakan suatu pertolongan dari tuhan untuk membedakan mana yang benar atau salah dan Islam adalah agama keselamatan. Menurutnya segala kebaikan dalam agama ini tidak boleh dikotori oleh orang-orang serakah yang munafik.
Dalam istilah Misbach, orang-orang serakah yang munafik ini adalah penguasa, kapitalis dan imperialis yang menghisap rakyat. Dengan begitu, Misbach merasa jika mereka ini adalah musuh bagi muslim yang mengaku jika Islam adalah agama keselamatan. Lebih lanjut menurutnya muslim sejati harus bisa membebaskan diri dari belenggu para penguasa, kapitalis dan imperialis tersebut.
Demikian pemikiran Haji Misbach yang terus memperjuangkan keyakinannya lewat tulisan-tulisan, orasi-orasi dan pergerakan di partainya. beberapa kali dirinya sempat ditangkap dan dituduh terlibat dalam banyak aksi pemogokan buruh dan tani di Indonesia, khususnya di Jawa.
20 oktober 1923 Haji Misbach ditangkap dan dibuang ke Manokwari bersama dengan keluarganya. Di pengasingannya ia tetap aktif melakukan propaganda dengan menulis melalui surat kabarnya. Ia bahkan sempat mengajukan jika ingin dipindahkan ke eropa untuk melanjutkan perjuangannya.
Permintaan tersebut sudah dikabulkan oleh pemerintah hindia belanda dengan syarat ia harus membiayai kepergiannya sendiri. Namun, belum sempat pergi istrinya meninggal akibat penyakit malaria dan disusul dengan meninggalnya Haji Misbach dengan penyakit yang sama.
Penulis: Tsabit Aqdam Fidzikrillah
Editor: Sophia Latamaniskha